Skip to main content

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja.

Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertunjukannya.

 

SIANG, PERBINCANGAN

Di tengah kondisi pandemi yang membuat sebagian orang ketakutan keluar rumah, terdapat sekumpulan seniman yang sedang berdebat tentang masa depan dunia teater. Pendopo Hazim Amir, yang berada di tengah kompleks Dewan Kesenian Malang menjadi saksinya, sebuah diskusi siang yang menghadirkan Prof. Djoko Saryono, Renee Sari Wulan dan Meimura. Prof. Djoko Saryono merupakan guru besar Pendidikan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, sekaligus juga merupakan pengamat dan tokoh seni. Sementara Renee Sari Wulan adalah peneliti tari yang banyak pula mengkaji peristiwa-peristiwa teater. Sedangkan Meimura adalah seniman kawakan yang sudah puluhan tahun meramaikan dunia teater. Secara umum ketiga tokoh tersebut mencoba memberikan perspektif pada peristiwa pandemi yang mengakibatkan pergeseran pertunjukan dari dunia offline ke dunia online. Selain ketiga narasumber tersebut, hadir juga seniman-seniman teater kawakan dari berbagai generasi.

 

 

Acara diskusi yang dikemas secara santai itu memberikan kesempatan bagi semua yang hadir untuk menyampaikan pandangan terhadap fenomena cyberspace tersebut. Dan seperti dengan mudah ditebak, diskusi berlangsung dalam dua sisi yang berbeda: kaum tua lebih dominan menganggapnya sebagai ancaman dan kaum muda cenderung mengganggap ini sebagai peluang.

 

CYBERSPACE

Kemunculan digimodernime mengagetkan dunia seni. Digimodernisme yang dicetuskan oleh Alan Kirby, seorang peneliti dari Oxford, merupakan hasil pembacaan terhadap pengaruh komputer, telpon genggam dan televisi interaktif pada seni dan budaya. Digimodernisme, lanjut Kirby, merupakan satu set dari sebuah karakteristik estetis yang merupakan konsekuensi dari sebuah proses yang unik dari konteks baru sebuah teknologi. Konteks baru tersebut berkaitan dengan perpindahan budaya, revolusi komunikasi, organisasi sosial, sajian yang terinspirasi teknologi dan bentuk baru yang lebih kontekstual[i].

Penggunaan teknologi baru ini secara otomatis akan melahirkan ruang baru, salah satunya adalah ruang maya atau disebut sebagai cyberspace. Dalam masa pandemik inilah maka cyberspace mulai sangat banyak dimanfaatkan.

Sebetulnya, cyberspace telah ada Ketika internet mulai berkembang. Ruang-ruang bertemu antara pemain dan penonton yang oleh Peter Brook disebut sebagai teater itu sendiri. Hal ini diungkapkannya sebagai menivestasi dari konsep empty space[ii]. Ruang pertunjukan tersebut sementara ini diisi oleh interaksi personal dengan melibatkan berbagai platform seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Di sisi lain, platform berbagi video juga telah banyak dimanfaatkan sebagai “Gudang” dokumentasi yang terbuka bagi siapapun.

Tapi pada kondisi Pandemi ini, cyberspace telah mulai digunakan secara maksimal dalam pertunjukan teater, yaitu dengan melakukan streaming. Streaming pertunjukan teater dapat dilakukan dengan berbagai platform, baik itu BroadwayHD, Youtube, Instastory dan lainnya.

 

KAUM TUA DAN KEGAGAPAN

Kaum tua yang saya maksud tentu saja bukan berkaitan dengan usia belaka, tapi lebih berdasarkan pada kemauan dan kemampuan seorang dalam beradaptasi terhadap perubahan. Ketidakmauan ini umumnya muncul dengan adanya penolakan dengan berbagai dalil, apakah berkaitan dengan kualitas, rasa dan satuan-satuan lain yang sangat subjektif.

Kemunculan teknologi baru memang mengakibatkan culture shock. Kegagapan tersebut seringkali mengakibatkan kesulitan-kesulitan bagi kaum tua yang sulit beradaptasi. Berbagai dalih tersebut memang sangat mudah kita lihat dari berbagai kemunculan teknologi.

Misalnya, Ketika kemunculan komputer, kaum tua menganggapnya tidak memiliki keasyikan yang sama Ketika mengetik menggunakan mesin ketik klasik. Kaum tua yang terus berpegang pada mesin ketik lama-kelamaan akan semakin tertinggal oleh mereka yang mampu menggunakan komputer dalam tingkat kecepatan, akurasi dan berbagai keuntungan teknologi komputer yang lain.

Lagi, Ketika telepon ditemukan, terjadi penolakan yang luar biasa karena dianggap akan menghilangkan interaksi fisik yang dipandang paling ideal. Tapi apa yang terjadi kemudian, telepon akhirnya digunakan di seluruh dunia. Telepon mampu menghilangkan jarak.

Persoalan rasa yang sering digaungkan sebagai alasan dasar penghindaran penggunaan cyberspace—dugaan saya—hanyalah rasa nostalgik yang tidak perlu dipertimbangkan. Sensasi kedekatan dan pengalaman estetis sejatinya terbentuk secara alami lewat interaksi yang terjadi secara terus menerus.

Ketika cyberspace tersedia akibat perkembangan komputer dan internet, maka kaum tua yang masih tergagap-gagap memandangnya kemudian kembali menolak. Alasannya penolakan itu adalah interaksi antara penonton dan penyaji yang hilang, rasa yang hilang dan berbagai alasan lain. Pengalaman meonton film tidak bisa dianggap sebagai pengalaman yang hampa tanpa rasa. Demikian pula dengan pertunjukan teater dalam cyberspace. Lalu apa bedanya?

Segala alibi oleh kaum tua tersebut bila diamini akan menghentikan pertunjukan teater dalam kondisi Pandemi. Berhentinya pertunjukan teater akan berakibat pada hilangnya potensi penonton. Teater merupakan seni yang tidak terlampau popular, apabila ditambah dengan tidak adanya pertunjukan teater maka akan semakin meminggirkan teater dari penontonnya. Hal ini apakah bisa ditanggung akibatnya oleh kaum tua?

 

PELUANG

Sebagai sebuah teknologi yang tanpa tendensi sifat dan etika, maka kemunculan cyberspace (dan semua teknologi) akan menghadirkan dua sisi: baik dan buruk. Hal itu snagat bergantung pada pemakainnya. Tapi yang jelas, kemunculannya bagi kaum muda—yang dinamis dan sangat dekat dengan teknologi—adalah sebuah peluang besar.

Kecenderungan penonton teater yang usianya relative muda membuat mereka sangat bergantung dengan internet. Dengan telepon genggam, mereka dapat meraih segalanya. Hal ini mengakibatkan keengganan bagi mereka untuk beranjak dari tempat paling nyaman. Perlu dorongan yang luar biasa besar untuk membuat mereka menuju ke suatu lokasi yang jauh dari tempat paling nyaman.

Untuk menonton teater, misalnya, penonton sekarang memerlukan dorongan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan penonton dulu. Dengan menjamurnya hiburan yang dapat diakses dari genggaman, teater harus memiliki daya pikat yang jauh lebih tinggi. Media internet harus dimanfaatkan untuk tujuan tersebut.

Pemanfaatan internet untuk pertunjukan teater—baik itu sebagai media publikasi, penjualan tiket, maupun sebagai panggung teater itu sendiri—harus menjadi prioritas untuk mampu menjangkau penonton millennial. Maka penggunaan berbagai media sosial dan Youtube menjadi mutlak karena dapat menjangkau kalangan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan cara-cara konvensional dengan media cetak.

Peluang inilah—sekali lagi—yang dapat dipahami dan dilaksanakan oleh kaum muda yang dinamis, adaptif dan terus belajar. Kaum seperti ini juga mencakup seniman-seniman yang usianya tidak muda lagi tapi memiliki keinginan untuk mempelajari teknologi dan menggunakannya dalam proses berkarya.

Cyberspace inilah yang dapat digunakan untuk menjangkau bukan hanya penonton teater sekitar kita, juga penonton teater dari seluruh dunia. Jangkauan seperti ini dulu hanya dapat dilakukan dengan cara berpentas benpindah-pindah selama bertahun-tahun dan menghabiskan biaya yang sangat besar. Sementara menggunakan cyberspace, segala hambatan itu dapat diselesaikan.

Belum lagi dengan terus adanya pertunjukan teater di cyberspace, dengan demikian akan terpeliharanya penonton, terpeliharanya kemampuan seniman teater. Hal ini tentu saja merupakan keuntungan jangka Panjang.

 

JANGAN BERPUAS, ADA TUGAS BESAR MENANTI

Adanya medium baru tersebut, tentu memberikan pekerjaan rumah yang berat. Medium baru memelukan riset-riset terkait kenyamanan penonton, ketercapaian informasi dan ide, dan persoalan dramaturgi lain. Sebagai sebuah teknologi baru, maka perlu eksperimen-eksperimen yang sangat banyak untuk mengetahui dengan pasti bagaimana menggunakannya. Ibarat alat elektronik, cyberspace adalah alat elektronik yang tidak disertakan buku panduan penggunaan dalam boxnya.

Tugas kaum muda adalah menggali segala kemungkinannya. Misalnya, perlunya dicari dramaturgi yang mampu diterapkan dalam cyberspace untuk mencapai standar estetika yang tinggi. Hal ini mutlak diperlukan karena apapun bentuk seni, estetika adalah nyawa di dalamnya. Dramaturgi yang paling pokok adalah Teknik operasional kamera, mic, sound, pencahayaan dan berbagai elemen lain yang mendukung estetika pertunjukan. Belum lagi persoalan acting yang tentu saja tidak dapat disamakan dengan acting di atas panggung sungguhan. Dalam hal ini kita perlu belajar dari saudara muda kita, dunia perfilman.

 

HANYA CEMILAN, BUKAN MENU UTAMA

Belajar dari perkembangan musik, pada awalnya musik adalah pertunjukan langsung. Kemunculan teknologi perekaman, video dan lainnya membuat musik kemudian beradaptasi dengannya. Musik kemudian direkam dalam piringan hitam, kaset, VCD dan file audio visual. Dalam proses menikmatinya, musik awalnya didengarkan di depan pembuatnya, di dengar dengan memerlukan Gramofon, hanya memerlukan tape, Walkman, hingga bisa didengarkan dalam bentuk mp3 dan pada akhirnya dapat didengarkan menggunakan platform online tanpa perlu menyimpan semua lagu di telepon genggam.

Apakah ketika teknologi mampu menghadirkan musik di manapun, kemudian musik langsung menjadi tidak laku? Tentu saja tidak. Musik rekaman adalah camilan, musik langsung adalah menu utama. Musik rekaman adalah versi murah yang kualitasnya seadanya, sementara musik langsung adalah versi mahal dan premiumnya. Keduanya tetap diperlukan.

Teater juga demikian, teater dalam medium cyberspace adalah camilan yang dapat dinikmati kapanpun dan sambil melakukan hal lain. Kalau penonton ingin mendapatkan pengalaman lebih dalam dan mengesankan, mereka tetap harus datang ke Gedung pertunjukan. Cemilan ini dapat dinikmati sebagai makanan pembuka sambil menunggu makanan utama disajikan.

 

Tapi apa yang terjadi kalau seniman teater berhenti? Ketika mereka lapar, ingin sekali menikmati menu teater. Tapi sang koki berhenti memasak, pelanggan menunggu tanpa kepastian. Maka para pelanggan akan pergi. Mungkin berpindah ke restoran lain yang terus ada untuk memenuhi lapar mereka. Bahkan mereka tidak akan Kembali.

 

26 Agustus 2020
Ekwan Wiratno

[i] Alan Kirby. 2009. Digimodernism: How new technologies Dismantle the Postmodern and reconfigure out culture. Continuum. London.

[ii] Peter Brook. 1968. The Empty Space. Simon & Schuster. New York.

Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di