Skip to main content

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana. 




PEMBACAAN SEKILAS

Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian.
Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat.
Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput dari proses penjurian.

BACALAH

Begitu yang sering digaungkan orang-orang. Membaca adalah proses mendapatkan sebuah informasi. Tentu pemaknaan "membaca" jangan dipersempit hanya sebagai sebuah pembacaan tulisan, tapi juga pembacaan fenomena, pembacaan suasana, pembacaan wacana dan lain sebagainya. 
Sayangnya, dalam tahap paling primitif, proses pembacaan naskah-naskah yang dipentaskan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat payah. Setidaknya ada tiga naskah yang dipentaskan selama dua hari itu, yaitu Pintu Tertutup (Jean-Paul Sartre), Bulan Bujur Sangkar (Iwan Simatupang) dan Bunga Rumah Makan (Utuy Tatang Sontani). Sementara tiga pilihan naskah lain sama sekali tidak dilirik oleh pementas.
Apabila kita membaca secara menyeluruh naskah-naskah yang dipentaskan itu, maka kita cukup dapat kecewa apabila melihat bagaimana hasilnya di atas panggung. Kesimpulan ini tentu saja tidak menghakimi seluruh penampil, tapi secara umum dapat didakwakan pada peserta lomba.
Ketiga naskah itu hanya dibaca secara sekilas saja sehingga kedalaman pemahaman begitu minim. Hal ini sangat nampak bagaimana para peserta memperlakukan teks. Teks-teks dalam naskah hanya dimuntahkan tanpa digali maknanya. Dialog-dialog diucapkan tanpa pengendapan, sehingga gestur, ekspresi, moving, bahkan persoalan cahaya, rias, busana dan panggung juga tidak sinkron. 
Aktor-aktor sebagain besar masih terjebak pada kecenderungan menyampaikan kembali dialog apa adanya, tidak ada internaliasi yang harusnya muncul dalam setiap adegan yang dimainkan. Hal ini paling mudah ditemukan pada pertunjukan yang memanggungkan naskah Bulan Bujur Sangkar. Naskah ini memang memiliki frase-frase dan metafora yang relatif rumit. Kerumitan ini diperparah oleh pemahaman mengenai penulisnya yang sangat terbatas. 
Teks-teks dalam naskah Iwan Simatupang itu perlu dibedah satu persatu untuk memudahkan pemahaman aktor. Sepertinya proses itu diabaikan oleh sutradara sehingga para aktor tidak memahami apa yang dilontarkannya. 
Dialog-dialog dangkal dan serupa rumus-rumus yang dihapal tanpa pemahaman sama sekali. 
Karena itulah, sebagian besar pentas-pentas naskah Bulan Bujur Sangkar menjadi kering makna.
Tentu saja, hal yang sama juga terjadi pada penggarapan naskah Pintu Tertutup. Naskah yang sama-sama ditulis oleh tokoh Eksistensialis ini justru memiliki jebakan yang jauh lebih dalam dan berbahaya. Naskah yang merupakan salah satu masterpiece dari Sartre ini hanya dipahami secara sekilas dan sembrono. Sutradara tidak mampu menggunakan elemen-elemen yang disediakan naskah secara maksimal. Bahkan beberapa simbol penting (seperti warna sofa dll.) yang disediakan Satre malah dihilangkan dari panggung. Ini kebodohan yang amat.
Membaca naskah-naskah Iwan Simatupang, Sartre dan penulis-penulis absurd-eksistensialisme memang harusnya dilakukan secara hati-hati dan penuh rasa curiga. Tidak cukup kita hanya memahami maksud teks, tapi juga harus masuk ke makna secara berlapis-lapis. Hal inilah yang membuat naskah-naskah macam itu jarang dipentaskan.
Tentu berbeda dengan naskah Bunga Rumah Makan yang hanya mengandalkan drama dan emosi aktor. Ini tentu jauh lebih mudah dipanggungkan apabila dibandingkan dengan dua naskah sebelumnya. Kemudahan itu tidak lantas membuat tiga pertunjukan dalam FESTAWIJAYA 6 yang menggunakan naskah ini memiliki kualitas yang bagus. Naskah "mudah" ini sering diremehkan. Meremehkan adalah kesalahan besar.
Bunga Rumah Makan telah dipentaskan ratusan kali, bahkan mungkin lebih. Lalu apa bedanya? Itulah yang menjadi persoalan. Sebagian besar pertunjukan dalam FESTAWIJAYA 6 yang mengangkat naskah itu terjebak pada teks. Naskah hanya disampaikan begitu saja tanpa tafsir yang menantang. Hal ini dapat mudah diketahui karena hampir semua pertunjukan sama. Tafsir harusnya dilakukan untuk membumikan naskah. Tafsir pula yang menjadikan sutradara "berguna." 
Meskipun ada yang berusaha menampilkan alur secara tidak konvensional, tetapi efek artistiknya tidak ada. Salah satu pertunjukan menampilkan potongan akhir cerita justru disajikan di awal permainan. Secara ide tentu menarik, tapi tidak diimbangi dengan kemampuan editing naskah yang mumpuni. Hasilnya, tidak ada efek yang lebih menarik dibandingkan dengan naskah aslinya. Maka dapat dikatakan, proses perubahan itu sia-sia saja.

Selain itu tentu sangat banyak persoalan-persoalan pemanggungan. Tapi dalam kesempatan ini saya tidak ingin masuk ke area teknis yang cenderung kaku dan minim pengetahuan. Mungkin itu tugas pengamat lain.


Sekali lagi, ini hanya pembacaan sekilas. Para dewan juri tentu memiliki pandangan yang lebih menyeluruh. Maka, membuka diskusi dengan dewan juri, juga penonton, akan memperluas khasanah pembelajaran teater para peserta lomba. 



Pemenang belum tentu karena memiliki kualitas yang luar biasa, seringkali hanya karena lebih baik dari peserta lain yang yang kualitasnya sangat buruk. Maka jangan cukup sampai di sini.

Semoga kita semakin pintar membaca.


Ekwan Wiratno Malang, 26 April 2019

Comments

  1. Aduh, kritikus ini sungguh hebat. Bagaimana tidak? Menulis kalimat sederhana saja, tidak mampu. Terlebih penggarapan naskah yang seharusnya dibebaskan tetapi dikekang dengan hanya satu interpretasi dari kritikus terbaik ini. Sebuah ironi yang memperlihatkan kepintaran orang bodoh. Bagi saya, interpretasi, tidak ada yang buruk. Hanya saja, anda terbiasa menonton pementasan sekelas teater koma, bengkel teater, atau teater gandrik. Jadi wajar saja jika perbandingannya terlalu jauh. Jangankan membaca sartre atau iwan, membaca kutipan di buku SIDU saja saya tak mampu.

    Untuk sang kritikus, yang lebih sartre daripada sartre.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tampaknya ada kegagalan membaca di sini.

      Apa yang saya tulis adalah soal-soal pembacaan teks drama, bukan interpretasi. Itu jelas soal yang berbeda.

      Sebagai gambaran, membaca teks drama adalah tahap paling awal dalam penggarapan pertunjukan teater. Setelahnya sutradara melakukan interpretasi/tafsir.

      Hilangnya kekuatan naskah dan simbol-simbol. Itulah yang saya persoalkan dalam konteks pembacaan naskah. Dan itu umumnya terjadi akibat rendahnya kualitas proses pembacaan naskah.

      Ini dengan mudah dilihat dari pertunjukan yang tidak memiliki tafsir pada naskah. Naskah hanya dipindah ke panggung. Lalu untuk apa?

      Teater Ego, menurut saya telah melakukan tafsir, hanya belum konsisten saja dalam seluruh elemen pemanggungannya.

      Dan mari menulis. Anda memiliki argumen dalam membantah argumen saya, maka silakan menulis. Tradisi berbalas tulisan adalah tradisi yang indah. Adalah semacam keharusan bagi mereka yang ada di lingkungan akademik.
      Sebab sama sayang sekali kalau analisis hanya dibantah dengan opini. Apalagi hanya dengan mulut.

      Sungguh tidak imbang, bukan?

      Delete
    2. Katanya pembacaan text. Tapi ujung-ujunge interpretasi. Kamu ini Ga Existensialis Blassss. Matio ae poo .

      Delete
  2. Menarik sekali pembahasannya. Tapi... tapi.. tapi .. masih banyak tapinya.. Jadi saya yang bukan aktor saja bisa menyimpulkan bahwa Kritikus disini sedang sakit. Sakit hati atau sakit apa saya juga tidak paham. Penjelasannya? Oke. Jangan diedit lagi ya tulisan jenengan iki, pak Kritikus yang terhormat.
    Dari awal sampai akhir tulisan jenengan hanya menyajikan umpatan dan penilaian subjektif. Seperti (sembrono, kebodohan yang amat, proses perubahan yang sia-sia). Tapi tapi e tapi..
    Di akhir tulisan, Bapak kritikus memberikan penekanan bahwa, (Sekali lagi, ini hanya pembacaan sekilas). Jadi apa yang bisa saya petik dari kritikan sepedas ini tapi hanya membaca SEKILAS? Nah.. "semoga kritikus lain tidak se-sembrono jenengan".

    Ngopi sing akeh luuuurrr

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, saudara Pemabuk. Segala kritik penting, bahkan pada kritik itu sendiri.

      Tradisi kritik teater, sepedas apapun itu, sejatinya terus dibutuhkan. Dan apabila ada keberatan pada satu sudut pandang kritik, maka silakan membuat kritik dengan sudut pandang lain. Tradisi kritik macam ini akan mengembangkan teater itu sendiri.

      Silakan membaca artikel kami
      https://master-malang.blogspot.com/2019/05/kritisisme-kritik-dan-teater.html


      Juga, sebaiknya bukan hanya ngopi, tapi juga belajar teater.
      Selamat belajar.

      Delete
  3. Secara personal, saya suka dengan kritikan di atas. Meskipun solusi yang ditawarkan agak sulit untuk diwujudkan bagi pelaku teater yang mungkin enggan untuk mengulang sebuah proses. Hal itu juga pernah saya alami. Memang kritikan sang penulis sangat pedas dan tajam. Namun, di sisi lain, saya menangkap maksud baik guna menumbuhkan budaya literasi yang tinggi bagi siapapun yang akan melakukan sebuah proses teater. Memang hal semacam itulah yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pegiat teater. Saat ini, saya melihat budaya literasi atau semacam bedah naskah itu sangat minim terjadi. Hal ini menyebabkan kualitas pertunjukan teater di Malang agak menurun, tidak seperti era 90-an (yang pernah saya tonton). Saat ini, saya dan beberapa kawan juga mencoba untuk menggiatkan kembali budaya literasi atau bedah naskah yang fungsinya untuk memperkuat kembali atmosfer pertunjukan teater, khususnya di Malang. Terima kasih. Salam budaya!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu