Virus Corona telah menjangkiti
berpuluh negara di seluruh penjuru dunia. Virus Corona tipe baru yang bermula
dari negara Tiongkok ini diberi nama Covid-19. Nama ini kemudian secara cepat
menjadi symbol ketakutan seluruh manusia di dunia ini. Pertanggal 21 Maret 2019
Covid-19 telah menjangkiti 288 ribu orang dan sebanyak 11 ribu diantaranya
meninggal dunia. Untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19, maka banyak negara
melakukan aksi perlindungan, salah satunya dengan melarang kegiatan yang melibatkan
banyak orang. Bahkan, beberapa negara telah menutup akses keluar masuk
negaranya yang kemudian popular disebut sebagai lock dawn.
Perekaman pertunjukan Sleuth di McCarter Theater Center, Princeton
Langkah yang diambil negara ini tentu saja berakibat bukan hanya
pada aktivitas pekerjaan, hiburan dan ekonomi, juga pada aktivitas kesenian. Aktivitas
seni yang melibatkan banyak orang dicabut ijin penyelenggaraannya. Karena itu
maka para seniman banyak yang menunda atau membatalkan acara mereka.
Di Indonesia, aktivitas teater telah banyak yang ditunda, beberapa
diantaranya adalah Pentas Teater Koma Sampek Engtay yang rencananya
digelar pada 28 dan 29 Maret terpaksa harus ditunda hingga bulan Agustus. Nasib
yang sama juga dialami Teater Payung Hitam yang rencananya akan melakukan
pertunjukan Godot Menunggu pada tanggal 7 April 2020 di Purwokerto terpaksa
harus menunda pertunjukannya. Bahkan industry teater sebesar Broadway juga mengalami
penutupan hingga 12 April 2020.
Apakah ini pertama kali teater babak-belur oleh wabah?
Tentu saja tidak. Sebagai
sebuah bentuk ekspresi seni yang sangat bergantung pada masa, maka teater
sangat terpengaruh oleh kondisi sekitarnya.
Pada tahun 1606 sebuah wabah
pes (bubonic plague) terjadi di London dan telah mengakibatkan 30.000
orang meninggal dunia. Wabah ini memaksa berbagai kelompok teater menghentikan
aktivitasnya, termasuk Globe Theatre. Gedung pertunjukan tempat William
Shakespeare berkreasi ini terpaksa menghantikan pentas King Lear dan Macbeth.
Wabah yang memiliki gejala demam, berdebar-debar, dan sesak nafas ini diikuti
oleh munculnya nyeri pada punggung dan kaki[i].
Dalam kondisi wabah semacam
ini, seniman teater dihadapkan dengan dua pilihan, yaitu menghentikan
pertunjukan dengan konsekuensi hilangnya pendapatan atau tetap melakukan
pementasan secara berkeliling ke kota-kota kecil yang belum terkena wabah.
Shakespeare dan teaternya memilih opsi ke duai.
Tentu saja tidak semua
komunitas teater mengambil langkah ini. Kebandelan selalu terjadi. Pertunjukan
Ram Alley tetap digelar oleh Lording Barry di saat peningkatan jumlah
warga terjangkit tidak terlalu signifikan. Tetapi hal itu tidak berjalan lama
karena beberapa hari kemudian jumlah warga terjangkit terus meningkat dan
memaksa mereka menutup Gedung pertunjukani.
Pada tahun 1980an terjadi
wabah AIDS di Gedung-gedung pertunjukan Los Angele. Hal ini memicu kewaspadaan
dan pembatasan pertunjukan. Menyebarnya wabah H1N1 atau flu burung pada 2009 mengakibatkan
penutupan concert halls dan Gedung pertunjukan di Meksiko dan New York.
Terus babak belur?
Tentu saja tidak. Seni
adalah kreativitas. Bahkan di tengah wabah seklaipun, seni teteap menemukan
proses kreatifnya sendiri.
Di tengah wabah pes yang
terjadi di London, Shakespeare justru menghasilkan beberapa karya monumental
seperti Romeo and Juliet, Antony & Cleopatra, King Lear, Pericles,
The Winter’s Tale, dan The Tempest. Wabah AIDS yang melanda Broadway pada
tahun 1980an juga menginspirasi sejumlah naskah teater seperti karya Tony
Kushner Angel in America, karya Kramer The Normal Heart (1985), karya
Craig Lucas Prelude to a Kiss (1988), karya Richard Greenberg Eastern
Standard (1989), karya Terrence McNally Love! Valour! Compassion! (1995),
dan karya Jonathan Larson Rent (1996)[ii].
Di tengah pukulan
Covid-19 seperti ini, muncul wacana mengenai teater online atau theatre from
home. Pertunjukan teater yang dapat dinikmati secara online ini diharapkan
akan mendukung pengurangan penyebaran Covid-19 atau wabah lain yang mungkin terjadi.
Tentu bukan berarti menonton video di Youtube, tetapi pertunjukan akan
disiarkan secara streaming bagi penonton yang telah membayar. Hal ini dilakukan
untuk menjaga hak cipta sebuah karya teater. Salah satu platform streaming
teater yang digunakan oleh industry teater Broadway adalah BroadwayHD, Globe
Player, Digital Theatre, Marquee TV dan LIVR. Theatre from home dilakukan untuk meminimalkan resiko dan menjaga industry teater
tetap hidup hingga wabah hilang sehingga penonton dapat kembali ke Gedung pertunjukan[iii].
Muncul juga fenomena Viral Monologues yang digelar di Intagram melalui
akun 24hourplays yang menyajikan sebuah monolog pendek yang berdurasi sekitar 5
menit melalui menu IGTV[iv].
Lalu bagaimana teater
kita hari ini yang telah babak belur akibat serangan bertubi-tubi Covid-19? Kita
tunggu saja; apakah keluhan yang menggema atau karya yang lebih garang muncul
juga?
Malang, 21-22 Maret
2020
Ekwan Wiratno
[i]
James Shapiro. 2015. How Shakespeare’s great escape from the plague changed
theatre. https://www.theguardian.com/books/2015/sep/24/shakespeares-great-escape-plague-1606--james-shapiro
[ii]
Aaron Grunfeld. 2015. Three Decades, Countless Deaths and a Lifetime of Change:
The Theatre Community's Fight Against AIDS. https://www.playbill.com/article/three-decades-countless-deaths-and-a-lifetime-of-change-the-theatre-communitys-fight-against-aids-com-351797
[iii] Elisabeth
Vincentelli. 2020. No Theater? No Problem. Plays and Musicals Switch to
Streaming. https://www.nytimes.com/2020/03/17/theater/theater-streaming.html
[iv] Ben
Brantley. 2020. In ‘Viral Monologues,’ Theater Mutates Into Online Deliverance.
https://www.nytimes.com/2020/03/20/theater/viral-monologues-coronavirus.html
Comments
Post a Comment