September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.”
Perdebatan konyol ini ironisnya
justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di
bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984,
tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019[i].
Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang
berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein
melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat
1970 dan aksi terorisme pada acara Munich Olympic Games 1972. Segala kelabu ini
kemudian dikenal sebagai Black September[ii].
Tragedi-tragedi kemanusiaan ini disajikan oleh Teater Komunitas dalam pertunjukan September
Hitam. Pentas yang digelar pada malam tanggal 28 September
2020 di Kafe Deliciosa ini merupakan hasil penggarapan oleh Sutradara Bedjo
Supangat dari naskah karya Kholidurroziqin. Pertunjukan malam itu lebih
menekankan pada peristiwa Munir, Semanggi II, dan Tanjung Priok.
Peristiwa-peristiwa pelanggaran
kemanusiaan ini disampaikan dengan dua cara, yaitu pembacaan berita dan upaya dramatisasinya.
DRAMATISASI BERITA
Dalam banyak media, kita seringkali
menikmati dramatisasi dari cerpen, novel, bahkan berita. Proses ini umumnya
dikenal sebagai sebuah upaya alih wahana. Alih wahana yang terakhir merupakan
peristiwa yang sangat langka.
Peristiwa yang disampaikan secara
konvensional dalam bentuk berita, baik itu cetak maupun media audio visual
tentu merupakan hal biasa dan cenderung diabaikan. Dengan perubahan media
menjadi sebuah seni pertunjukan, maka diharapkan akan memberikan sensasi yang
berbeda dan memudahkan penyampaian informasi.
Dalam pertunjukan September Hitam
ditampilkan berita yang dibacakan oleh siswa Sekolah Menenangah Pertama (SMP)
melalui beberapa teknik, baik itu pembacaan catatan, maupun pembacaan tanpa
teks. Suara siswa SMP ini memberikan sudut pandang yang berbeda dengan apabila
dibacakan oleh remaja atau orang yang lebih dewasa.
Hanya saja, "lidah" siswa SMP tersebut
hanya sekedar alat, tidak memiliki nilai fungsi yang lebih dari itu. Sudut
panjang berita yang dibacakan adalah sudut pandang orang umum, hal ini nampak dari
struktur bahasa yang digunakan cenderung dewasa. Tentu saja berbeda apabila
digunakan berita dengan bahasa yang lebih sesuai dengan usia naratornya. Kejujuran
bahasa yang sesuai dengan usia siswa SMP justru akan memberikan efek yang jauh
lebih menarik sebagai suara kaum milenial yang tidak menyaksikan tragedi kemanusian
tersebut secara langsung. Kejujuran itu jauh lebih bernilai sebagai suara angkatan
termuda dalam memandang peristiwa sejarah.
Selain pembacaan berita, secara paralel
juga ditampilkan upaya dramatisasinya. Setiap kali tragedi kemanusiaan
dibacakan, di sisi yang lain ditampilkan satu aktor yang merepresentasikan
peristiwa tersebut. Dualisme ini pada beberapa sisi merupakan bentuk penguatan
cerita, tapi di sisi yang lain justru mengakibatkan perpecahan fokus penonton. Hal ini justru merugikan. Ditambah lagi, pola pembacaan berita yang
lugas dan dramatisasi berita yang cenderung simbolis, tentu saja memerlukan “daya
cerna” yang berbeda, sehingga akan menarik perhatian secara tidak seimbang. Dramatisasi
cenderung mengambil perhatian penonton jauh lebih banyak dibandingkan pembacaan
berita. Diperparah lagi dengan lemahnya penguasaan panggung dari si pembaca
berita.
Meskipun demikian, penggunaan simbol-simbol dalam pertunjukan cukup menarik, misalnya menggunakan kartu remi sebagai kartu identitas. Belum lagi, ritme pembacaan berita dan dramatisasi tidak sinkron seperti tanpa koordinasi. Hal ini menunjukkan bahwa perlu latihan yang lebih panjang lagi untuk menyamakan ritme tersebut sehingga lebih mudah memahami apa yang ingin didengar dan ditonton.
NEWSPAPER THEATRE
Pembacaan berita di dunia teater
mengingatkan saya pada konsep teater yang dikembangkan oleh dramawan Brasil,
Augusto Boal. Konsep Newspaper theatre merupakan rangkaian dari konsep
Teater Kaum Tertindas (Theatre of Oppressed) yang berangkat dari teori Pendidikan
yang dikembangkan oleh Paulo Freire[iii].
Konsep Newspaper theatre dengan
mudah dipahami sebagai bentuk pembacaan berita di ruang publik dengan tujuan
meningkatkan awareness dan penyampaian berita kepada khalayak umum. Konsep
ini menggunakan berita terkini atau informasi tersembunyi yang dianggap penting untuk dipahami masyarakat. Secara
praktek, sebetulnya ada banyak sekali varian dari konsep Newspaper theatre
ini, mulai dari sekedar membaca, menambahkan unsur musik, dance hingga dramatisasinya.
Dalam beberapa hal, tentu saja
pertunjukan September Hitam mendekati konsep Newspaper theatre
tetapi beberapa hal merupakan penyimpangan. Misalnya, pembacaan berita dalam September
Hitam didasarkan pada peristiwa masa lampau yang cenderung jauh dari
masyarakat kini. Ini tentu sangat berbeda dengan konsep Newspaper theatre
yang lebih fokus pada isu terkini dan penting.
Ditambah lagi, pertunjukan September
Hitam dilaksanakan secara eksklusif di kafe, bukannya di ruang publik yang
memiliki jangkauan penonton yang lebih luas. Isu penting yang hanya dibicarakan
dalam kalangan terbatas tentu saja hanya akan menjadi gerutu yang lemah. Padahal
apabila pertunjukan ini, dengan mengusung berbagai isu penting, disampaikan di
ruang publik yang lebih luas, maka akan memberikan efek yang jauh lebih besar.
SEKEDAR DRAMATISASI BERITA?
Maka tidak berlebihan kesimpulan yang
saya tarik dari pertunjukan September Hitam, bahwa pertunjukan tersebut
sekedar dramatisasi berita. Dramatisasi berita ini, di layar televisi sudah
banyak dieksplore sebagai sajian rekonstruksi ulang atau ilustrasi kejadian. Lalu
apa bedanya dengan pertunjukan teater?
Inilah persoalan yang perlu
didiskusikan secara lebih mendalam. Bahwa pertunjukan teater, sebagaimana khittahnya,
merupakan upaya mendalam dari kontemplasi, tidak sekedar melakukan apa yang
sudah dilakukan oleh orang kebanyakan. Bahwa perenungan yang diwujudkan dalam
sajian panggung, harus mampu memberikan pengaruh yang luas dan mendalam pula
bagi penontonnya.
Sebagai upaya mengingatkan penonton
tentang tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan September, sebetulnya pertunjukan
September Hitam telah berhasil. Tapi apabila kita berharap lebih dari
itu, saya rasa perlu upaya lebih lagi untuk mencapainya.
Meskipun demikian, beberapa keanehan juga terjadi, misalnya penggunaan handphone canggih oleh aktor yang melakukan dramatisasi kasus Munir. Kalau kita berpegang pada fakta sejarah, maka hal ini sangatlah mengganggu konsistensi. Lagi, adegan pembacaan hasil ketikan oleh seorang siswi SMP juga janggal (ketikan yang potrait dibaca secara lanscape). Beberapa hal sederhana ini mengurangi kenyamanan menonton.
Dan di akhir cacatan singkat ini saya
ingin memberikan apresiasi bagi Teater Komunitas yang terus aktif meskipun sebagian
besar seniman teater tertidur pulas. Mereka yang ditimang-timang oleh Pandemi,
menjadi tumpul kreativitasnya. Tetapi kemunculan pertunjukan September
Hitam ini setidaknya memberikan optimisme bahwa masih ada seniman-seniman
yang terus berusaha menentang kemalasan itu.
Malang, 2-3 Oktober 2020
Ekwan Wiratno
[i] Fatia Maulidiyanti. 2020. September Hitam 2020 : Pelanggaran HAM
Belum Tuntas, Negara Berdosa. https://kontras.org/2020/09/01/september-hitam-2020-pelanggaran-ham-belum-tuntas-negara-berdosa/
[ii] Rafael Reuveny. 2020. Black September. https://www.britannica.com/topic/Black-September-political-organization-Palestine
[iii] Augusto Boal. 1979. Theatre of the Oppressed. Pluto Press.
London
Comments
Post a Comment