Skip to main content

ABITUS: Mampukah menjadi sampar?

Apakah sekarang saatnya aku minum obat penenang? Waktu pagi, obat-obat itu membelenggumu,sedang pada malam hari obat-obat itu membuatmu tenang.Atau sebaliknya.

Dialog tokoh HAM itu sepertinya yang menggerakkan pertunjukan Teater Sampar Indonesia pada minggu malam (15/9). Pentas dengan judul Abitus itu merupakan karya yang ditunggu-tunggu sebab telah lama sekali Teater Sampar Indonesia tidak menyentuh panggung. Memang, para pegiatnya terus saja berkarya secara individu, tetapi tidak secara kolektif. Maka pentas ini sekaligus menjadi pembuktian bahwa Teater Sampar Indonesia masih hidup, meski harus melawan usia tuanya.
Sebagai sebuah representasi, Abitus memang tidak sedang ingin menyimpulkan atau merangkum kompleksitas naskah Endgame karya Samuel Beckett. Sebuah representasi tetaplah hanya sebuah bagian kecil. Pengambilan topik “obat” dan “pengobatan” dirasa cukup menarik karena isu ini dikaitkan bukan hanya pada naskah asli, tapi juga diperluas dengan isu-isu terkini soal gadget.


Aku tidak bisa tidur
Aku tidak bisa tidurAku tidak bisa tidur

Keberulangan dialog itu memberikan pembuka yang luar biasa. Dialog yang dilontarkan oleh sang tokoh sekaligus sutradara pertunjukan Abitus itu—Didik “Meong” Harmadi—memberikan gambaran menarik tentang kondisi tokoh-tokoh. Kalimat-kalimat itu disampaikan melalui beberapa cara, mulai dari pelafalan langsung hingga penggunaan ilustrasi gerak.

RUANG KOSONG
“Pertunjukan Endgame membutuhkan ruang kosong dan dua jendela kecil,” demikian tulis Beckett dalam salah satu pengantar pertunjukannya yang digelar di Amerika pada tahun 1984[i]. Statemen Beckett ini memang harusnya menjadi perhatian bila kita menggarap naskah ini. Dan statemen ini sekaligus menjadi semacam “standar baku” dalam menilai pertunjukannya.
Ruang kosong tentu saja dapat dibangun oleh banyak elemen, mulai dari ruang panggung, ruang adegan hingga ruang percakapan. Naskah Endgame menyediakan ruang-ruang kosong dalam dialog-dialognya. Mereka berbagi beberapa cerita, menceritakan beberapa lelucon, tetapi interaksi kosong adalah komunikasi utama mereka.
Lalu bagaimana dengan Abitus? Setidaknya pertunjukan ini dapat kita bagi menjadi dua bagian, yaitu dialog-dialog (atau cenderung monolog) dan adegan-adegan. Kekosongan tidak Nampak sedikitpun dari dialog yang diucapkan. Kekosongan dialog melalui pola dialog dan komedi tidak koheren inilah kekuatan naskah Endgame yang tidak dikelola oleh Abitus. Maka dalam kondisi itu, sama sekali tidak tercipta kekosongan. Apabila kita kembali membaca Endgame maka kita akan menemukan ruang kosong antar dialog tokoh yang tidak koheren logikanya, tetapi mereka mencoba membangun ide-ide. Seperti ada usaha untuk mencapai keterkaitan ide, tapi ada kelemahan-kelemahan, yang pada akhirnya menyisakan ruang kosong.
Dalam Abitus, ruang kosong itu rasanya lahir di antara adegan-adegan. Adegan-adegan seperti berdiri sendiri-sendiri meskipun memiliki benang merah yang cukup samar. Ruang kosong antar adegan ini memberikan ruang bagi logika, permenungan dan benturan-benturan memori dan pertunjukan.
Sebenarnya, akan menjadi sebuah sajian yang menyenangkan apabila kekosongan dan eksplorasi kekosongan melalui dialog—atau representasi dari dialog—mampu dimunculkan di atas panggung. Ditambah lagi apabila lelucon-lelucon mampu dikemas ke dalam kekosongan yang ironik. Belum lagi, apabila symbol jendela mampu diproyeksikan menjadi kekuatan adegan, maka kesuksesan pertunjukan akan sepenuhnya dirasakan. Dan rasanya inilah kekuatan teater absurd, melebihi segala “sirkus” yang mungkin ditampilkan sebagai “hiburan” semata.





WABAH INDUSTRIALISME
Kita menghadapi apa yang saya sebut sebagai wabah industrialisme. Segala persoalan selalu didekati dengan usaha-usaha produksi. Revolusi industri menjadi slogan masif hari-hari ini. Revolusi industri mewabah di semua lini dan terus disempurnakan.
Meskipun revolusi industri telah berlangsung hampir 270 tahun, wabahnya terus menjalar dan mematikan. Berbagai persoalan terus muncul akibat revolusi industri, mulai dari persoalan lingkungan, kesehatan hingga persoalan kemanusiaan. Revolusi industri pertama memberikan warisan kerusakan lingkungan dan pencemaran di semua ekosistem, baik itu darat, air dan udara. Sementara revolusi kedua mendorong usaha-usaha eksploitasi sumber daya alam untuk pembangkit listrik. Hal ini mengakibatkan pengerusakan hutan dan pembukaan lahan besar-besaran.
Revolusi industri ketiga ditandai dengan penggunaan robot dan kecerdasan buatan. Peran manusia menjadi perlahan digantikan oleh mesin buatannya. Persoalan yang timbul pada tahap ini adalah melemahnya kemampuan fisik manusia. Pergeseran revolusi industri ini sejatinya bukanlah perpindahan secara utuh, tapi adalah transisi bertahap. Artinya revolusi industri yang terdahulu masih terus berjalan sehingga efek negatifnya pun terus terjadi.
Sementara revolusi industri terkini adalah revolusi industri 4.0 dimana penggunaan internet menjadi paling dominan. Hal inilah yang menjadi wabah kali ini. Abitus mencoba memberikan perspektif yang menarik mengenai efek dari revolusi ini.
Rutinitas menjadi semacam wabah yang menyakitkan. Bangun pagi, terjebak kemacetan, kerja rutin yang membosankan, terjebak lagi dalam kemacetan pulang kerja, dan diakhiri dengan kelelahan jiwa raga. Alarm sering terdengar selama pertunjukan Abitus. Alarm ini semacam penanda waktu sekaligus sebuah mandor kejam yang memaksa siapapun segera melakukan sesuatu. Sebuah paksaan menyakitkan. Manusia hanya punya satu pilihan: menurut. Alarm-alarm menjadi semacam terror yang menakutkan sekaligus dinantikan.
Wabah industrialisme 4.0 menjangkiti segala sisi, lewat berbagai platform media sosial yang merubah manusia-manusia beradab menjadi begitu beringas dan kejam di dalamnya. Belum lagi “penyakit” narsisme yang seakan mendapatkan panggungnya lewat berbagai media video vlog dan media sosial berbasis foto. Setiap orang merasa sebagai artis besar karena punya banyak follower.
Lalu apa obatnya? Adakah obat yang begitu mujarab? Ataukah obat itu hanya sebuah utopia? Itulah yang terus dipertanyakan Abitus.

PERANG BINTANG
Abitus memang istimewa, bukan hanya karena muatannya yang aktual, tetapi juga karena di sinilah berkumpul para bintang panggung. Berbagai tokoh teater dan seni berkumpul menjadi satu panggung.
Keistimewaan ini tentu bisa saja menjadi bencana apabila justru terjadi perang antar mereka. Berkumpulnya para bintang umumnya mengakibatkan perebutan posisi tertinggi dalam perhatian penonton. Tapi syukurlah hal itu tidak terjadi. Sang sutradara menempatkan mereka dalam adegan-adegan yang berbeda. Langkah ini tentu saja sangat tepat.
Pelibatan para bintang ini memang menguntungkan sebuah pertunjukan. Tetapi hal yang sering tidak disadari adalah bahwa berkumpulnya para bintang dengan pemain pemula akan memberikan gap yang cukup mudah dilihat. Dalam beberapa adegan pemain pemula kelihatan kedodoran dan Nampak sekali kekurangannya.

NEW THEATRE GENRE
Ada instrument menarik yang digunakan oleh Teater Sampar Indonesia, yaitu proyektor. Meskipun bukanlah tool baru di dunia teater, tetapi penggunaan proyektor sangatlah jarang ditemui. Penggunaan proyektor dalam pertunjukan Abitus menunjukkan betapa pertunjukan teater sangat adaptif terhadap perkembangan jaman.




Interaksi antara teks, aktor, ruang, boneka/wayang, animasi, proyektor dan penonton menjadi kajian-kajian menarik akhir-akhir ini. Denis Marleau melalui pertunjukannya Les Aveugles mencoba menginisiasi interaksi ini. Pola interaksi ini sangat memungkinkan terbentuknya genre teater kontemporer yang menggeser dominansi komunikasi estetis sekaligus merubah pola interaksi antara penonton dan pertunjukan. Ada pula pergeseran definisi aktor sebagai kesatuan dinamis dari seluruh tanda, pusat makna adegan, akting, dan simbol karakter menjadi instalasi video (projection). Pergeseran mendasar dari dominasi estetika ini dari subjek ke objek, dari aktor ke instalasi video, kemudian mengakibatkan upaya mendefinisikan kembali fenomena komunikasi teater[ii].
Hanya saja, sebagai sebuah pertunjukan teater, proyektor dalam Abitus  serasa hanya bagian kecil yang kurang mendapatkan perhatian. Padahal apabila dilakukan dengan lebih serius dan dikelola dengan porsi yang sesuai akan memberikan pengalaman estetis yang unik bagi penonton. Maka memang perlu banyak sekali interaksi antara pertunjukan dan instalasi video untuk mempu memberikan takaran yang pas.

WABAH?
Pada Mei 1665, 43 orang meninggal secara misterius di pinggiran London. Jumlahnya meningkat sebanyak 6.137 di bulan Juni dan makin berlipat ganda sebulan berikutnya (17.036) hingga mencapai 31.159 di bulan Agustus. Dalam 18 bulan sejak Mei itu, diperkirakan 100.000 dari total populasi 460.000 warga London tewas. Kematian ini di kemudian hari diketahui akibat wabah pes yang disebabkan oleh tikus. Tikus itu membawa kutu yang ditunggangi bakteri Pestis yersinia. Akibat gigitan kutu pada manusia inilah penyakit pes bubo atau sampar menjadi wabah mematikan[iii]. Sampar kemudian menyebar ke berbagai negara di Eropa dan sekitarnya. Menghabiskan hampir separuh warganya dan menanamkan memori ketakutan yang dahsyat. Sekaligus, sampar itu juga mendorong perubahan pola hidup dan higienitas masyarakat Eropa. Sebuah perubahan besar yang didorong oleh sebuah sampar.
Dalam sejarah teater Indonesia kemunculan Rendra dengan teater mini kata menjadi semacam sampar bagi teater Indonesia yang jalan di tempat. Di tahun 1968 Rendra melalui teater Mini Kata menghadirkan suatu gerakan kesenian dan kebudayaan, yang berhasil mengundang seluruh elemen masyarakat, dari anak muda, seniman, intelektual, budayawan, bahkan politikus untuk memikirkan perlunya pemahaman kebebasan berekspresi dan kemanusiaan[iv]. Atau bila kita berjalan lebih jauh lagi ada sederet penyebar sampar seperti Stanislavski, Grotowski, Meyerhold, Brecht. Mereka “menularkan” sampar yang memberikan pengaruh luar biasa dalam dunia teater dan masyarakat di sekitarnya.




Apakah Teater Sampar Indonesia mampu menyebarkan “penyakit”? Itulah yang kita tunggu-tunggu. Apakah Abitus mampu menjadi benar-benar sampar atau hanya reuni belaka? Sekali lagi, kita hanya bisa menunggu.

Malang, 16 September 2019
Ekwan Wiratno




[i] Van Badham. 2015. Endgame review – innovation choked by Samuel Beckett's strict staging edicts. https://www.theguardian.com/culture/2015/apr/06/endgame-review-innovation-choked-by-samuel-becketts-strict-staging-edicts
[ii] Yana Meerzon. 2008. Actor-puppet-video projection-spectatorfantasmagorie technologique: Towards a theory for a new theatre genre. Semiotica 168–1/4: 203–226
[iii] Tony Firman. 2018. 353 Tahun Silam, Wabah Pes Tewaskan 100 Ribu Warga London. https://tirto.id/353-tahun-silam-wabah-pes-tewaskan-100-ribu-warga-london-cXZ6
[iv] Yudiaryani dalam UGM. 2007. Memaknai Rendra dan Mini Kata Bagi Teater Modern Indonesia. https://ugm.ac.id/id/berita/1556-memaknai-rendra-dan-mini-kata-bagi-teater-modern-indonesia

Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu