Skip to main content

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya Ziarah akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman dan RT 0 RW 0. Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya.







EKSISTENSI
Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS (Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di Surabaya (1953). Sayangnya, sekolah terakhirnya itu tidak tuntas. Setelahnya Iwan berpindah ke Jakarta dan mulai banyak membaca masalah-masalah kebudayaan serta menulis di Mimbar Indonesia dan Siasat. Pada tahun 1954 Iwan Simatupang memperoleh beasiswa ke Eropa untuk memperdalam antropologi di Leiden (1956), drama di Amsterdam (1957), dan filsafat di Paris (1958) (Ensiklopedia Sastra Indonesia, 2019).
Kematian istrinya Corinne Imalda de Gaine yang baru dinikahinya 5 tahun begitu mengguncang Iwan. Sebagai bentuk refleksi dan ekspresi kehilangannya, Iwan kemudian menulis novel Ziarah dan naskah teater Bulan Bujur Sangkar (1960). Satu tahun berikutnya dia selesai menulis novel Merahnya Merah. Pernikahan Iwan selanjutnya dengan Tanneke Burki hanya berlangsung empat tahun (1961-1964). Dua tahun setelah perceraiannya itu kemudian Iwan menulis dua naskah teaternya Petang di Taman (judul aslinya Taman) dan RT0 RW0 (Ensiklopedia Sastra Indonesia, 2019).
Iwan mengalami masa-masa sulit di akhir hidupnya. Iwan Simatupang pernah pula tinggal selama beberapa tahun di kamar 52 Hotel Salak. Iwan menyampaikan bahwa ia banyak mengalami kegetiran, dan itu hanya bisa diobati jika novel-novelnya terbit. Sialnya, novelnya terlambat terbit. Sebuah surat Iwan yang ditulis pada tanggal 5 November 1969 mengungkapkan semua kegetiran dan sepi itu:

Rasa asing dalam diriku, terhadap diriku, anak-anakku, dan dunia selebihnya semakin parah saja. Aku semakin tak punya kepentingan apa-apa lagi dengan kehidupan dan dunia ini. Aku semakin letih saja.

Karya-karya Iwan mengalami jeda cukup panjang antara waktu selesai penulisan dengan waktu terbitnya: Merahnya Merah selesai ditulis 5 Oktober 1961, terbit 1968 oleh Gunung Agung. Ziarah selesai 2 Desember 1960, terbit 1969 oleh Djambatan. Kering selesai ditulis 5 Desember 1961, terbit 1972 oleh Gunung Agung. Kooong selesai tahun 1968, terbit 1975 oleh Pustaka Jaya (Teguh, 2018).
Iwan Simatupang keluar dari Hotel Salak karena kondisi keuangan dan kesehatannya semakin memburuk. Ia kemudian menumpang di bagian belakang rumah adiknya di Jalan Kencana 11, Jakarta. Pada tanggal 4 Agustus 1970, pukul 10 pagi, Iwan meninggal dunia di rumah kakak perempuannya (Teguh, 2018).
Meskipun usianya hanya mencapai 42 tahun, tetapi Iwan Simatupang telah mendapatkan berbagai penghargaan, yaitu Hadiah Sastra Asia (SEA Write Award) dari Thailand atas karya novelnya Ziarah pada tahun 1977. Novelnya Merahnya Merah (1968) mendapat hadiah sastra Nasional 1970 dan novelnya Kooong (1975; mendapat hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, 1975). Dua novelnya Ziarah (The Pilgrim, 1975) dan Kering (Drought,1978) diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Tegak Lurus dengan Langit (1982), sedangkan puisi-puisinya dalam Ziarah Malam (1993) (Ensiklopedia Sastra Indonesia, 2019).

EKSISTENSIALISME
Eksistensi mendahului eksistensi. Demikian yang sering diungkapkan oleh filsuf yang mengusung eksistensialisme. Filsafat ini pada dasarnya adalah protes terhadap pandangan bahwa manusia adalah benda serta tuntutan agar eksistensi personal seseorang harus diperhatikan secara serius. Pembahasan mengenai eksistensialisme tidak dapat dipisahkan dengan beberapa tokoh, seperti Soren Kierkegaard, Jean-Paul Sartre, dan Martin Heidegger. Soren Kierkegaard dianggap sebagai Bapak Eksistensialisme. Namun, pada masa Kierkegaard hidup, para filsuf dan publik Denmark tak menanggapi tulisan-tulisannya secara serius. Kierkegaard menyatakan ada 3 tahap bereksitensi, tahap jalan hidup, yaitu: tahap estetis, tahap etis, tahap religius. Menurutnya, demikianlah cara manusia berada di dunia. Pengaruh Kierkegaard baru terasa dan diakui pada abad ke-20. Penulis dan filsuf seperti Jean-Paul Sartre, Martin Heidegger banyak terinspirasi oleh karya-karya Kierkegaard (Parjiati, 2015).
Sartre menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri. “Manusia dikutuk untuk bebas,” demikian tulis Sartre. Eksistensialisme Sartre selain Nampak dalam beberapa esai dan bukunya, juga sangat Nampak dalam naskahnya Pintu Tertutup (No Exit). Penggambaran eksistensi manusia di dalam naskah Pintu Tertutup di tengah situasi “neraka” mampu memberikan penggambaran yang jauh lebih gamblang dibandingkan esai-esai filsafatnya.
Bagi Sartre, menusia diciptakan tanpa tujuan hidup. Pada tahap berikutnya kemudian manusia mencari makna dalam hidupnya. Mereka melakukan berbagai kegiatan dan pencarian makna selama hidupnya. Untuk mencapai sebuah kemandirian dan kebebasan total, maka manusia harus bebas dari berbagai ikatan. Kebebasan itu kemudian yang mengakibatkan manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Eksistensialisme memperoleh pengaruh cukup besar sesudah Perang Dunia II, terutama pada tahun 1945–1955. Perwujudan populer lewat karya-karya kesusastraan dengan tema eksistensialis juga membantu masyarakat untuk menangkap pesan-pesan eksistensialisme tersebut. Makin lama, aliran ini tersebar ke seluruh Eropa, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke benua-benua lain (Parjiati, 2015).
Penulis Indonesia yang mengejawantahkan eksistensialisme secara utuh ke dalam karyanya adalah Iwan Simatupang. Kajian-kajian eksistensialis telah banyak dilakukan pada karya-karya Iwan. Eksistensi manusia dalam karya-karya Iwan digambarkan sebagai manusia yang kesepian, menderita dan sekaligus kalah pada keadaan. Hal itu sangat menonjol pada tokoh Orang Tua dalam naskah Petang Di Taman dan RT0 RW0 yang pada akhir cerita menyerah untuk tetap tinggal di tempat. Dalam naskah Bulan Bujur Sangkar, eksistensialisme Iwan Simatupang dicampuri pula oleh absurditas khas Eugene O’neill. Akibatnya, naskah ini menjadi relatif lebih sulit dipahami dibandingkan dengan naskah-naskah lainnya. Eksistensialisme dalam naskah-naskah Iwan Simatupang sejatinya diwakili oleh penggambaran situasi batin yang mendalam pada setiap tokoh dan saling menujukkan identitas dan perannya yang tidak terpengaruh oleh keadaan atau situasi kelompok.

MEMBACA NASKAH-NASKAH IWAN SIMATUPANG
Membaca naskah-naskah Iwan Simatupang harusnya dilakukan secara lebih hati-hati. Kehati-hatian itu mencakup pemaknaan terhadap eksistensi sebuah tokoh dalam setiap peristiwa yang dibangun. Tokoh-tokoh digambarkan secara mandiri dan memiliki semacam barrier yang memisahkannya dari siapapun dan apapun kondisi yang dihadapi. Tokoh-tokoh yang diciptakan Iwan seringkali memiliki prinsip yang sangat kuat.
Bulan Bujur Sangkar memiliki pola penulisan naskah yang cukup unik karena “tercium” absurditas di dalamnya. Absurditas itu patut diduga merupakan pengaruh dari Eugene O’neill yang merupakan salah satu idola dari Iwan. Absurditas itu sangat jelas terlihat dari penggunaan idiom-idiom yang terkesan terputus-putus dan tidak nyambung. Pembacaannya tidak mungkin dilakukan hanya menggunakan kemampuan literer. Rasanya harus digunakan kemampuan pembacaan yang umum digunakan untuk memahami naskah-naskah absurd. Lebih dari semua itu, eksistensialisme Iwan juga cukup menonjol dalam penggambaran tokoh-tokohnya, terutama Orang Tua. Ada sebuah dialog Orang Tua yang begitu jelas menggambarkannya:

Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.

Kalimat itu begitu kuatnya sehingga cukup mampu merangkum seluruh isi naskah. Kalimat itu juga mengingatkan kita pada ungkapan Descartes, “Aku berfikir maka aku ada.” Eksistensi yang dibangun oleh Descartes hanya bertumpu pada pikiran, tetapi Iwan mampu menkonkritkan itu menjadi sebuah tindakan nyata: membunuh. Naakah Bulan Bujur Sangkar sekaligus memberikan kesempatan kita berdiskusi mengenai persoalan kematian, hak hidup dan hak mati, makna percintaan dan persoalan identitas yang sejatinya tak pernah berhasil kita urai kerumitannya.
Naskah Petang Di Taman (secara teks, saya lebih setuju dengan Iwan bahwa judul naskah ini sebaiknya memang hanya Taman karena memiliki kekuatan teks yang lebih tinggi seperti halnya cerpen Sartre Dinding) memberikan kemudahan apabila dibandingkan dengan naskah Bulan Bujur Sangkar. Petang Di Taman memberikan penggambaran eksitensialisme yang menarik. Penggambaran taman sebagai tempat dimana eksistensialisme dipertanyakan juga merupakan persoalan penting dibicarakan. Penokohan yang dibangun, kemampuan setiap tokoh menarik tokoh lain masuk ke dalam persoalannya juga merupakan pertentangan eksistensialisme yang perlu mendapat perhatian. Terutama keberadaan Wanita yang membawa perbincangan ke arah yang tak terduga, dan menimbulkan kesalahpahaman yang menyiksa tokoh Penjual Balon. Menurut saya, eksistensialisme dalam naskah ini tidak bisa dipersempit hanya pada tokoh-tokoh, tetapi keberadaan taman juga menjadi semacam tokoh tersendiri. Taman diposisikan sama kuatnya dengan tokoh. Eksistensi taman begitu penting untuk didiskusikan dalam konteks yang lebih menyeluruh.
Sementara apabila kita membaca RT0 RW0, maka kita akan menemukan sebuah candaan yang getir di sana. Kondisi penderitaan kali ini tidak disajikan sebagai sebuah penderitaan yang total, tapi sesekali disampaikan secara humor. Tapi inilah jebakan Iwan, kita harus berhati-hati. Humor di sini tentu sama sekali tidak pantas kita pandang sebagai guyonan rendahan. Ini adalah humor gelap (dark comedy). Kegetiran harusnya tetap Nampak, meskipun disampaikan dengan humor. Dan di sinilah kebanyakan penggarap naskah ini terjerembab ke dalam kesalahan fatal. Terminologi RT0 dan RW0 juga perlu dimaknai dengan bijak. Seperti diungkapkan salah satu tokoh, RT0 dan RW0 yang dimunculkan sebagai judul dapat dimaknai sebagai sebuah titik atau tempat milik siapa saja. Penafsiran lain adalah tempat dimana sebuah kondisi atau lingkungan bermula. Atau dapat pula ditafsirkan sebagai sebuah tempat atau situasi yang tak bermakna, entah karena kegagalannya memberikan pencerahan bagi lingkungan yang lebih sejahtera, atau karena keberadaan mereka yangada di sana tidak dihitung dalam statistik-statistik keberhasilan pembangunan. Naskah ini memang memberikan drama lebih banyak dibandingkan dengan naskah Iwan Simatupang yang lain. Ini tentu memudahkan dalam penggarapannya. Tapi sekali lagi, menggarap naskah Iwan kita harus penuh kehati-hatian, terutama jangan sampai menjadi sebuah drama murahan.
Sayangnya, naskah-naskah Iwan Simatupang yang lain masih belum dapat diakses secara luas. Tentu begitu menarik melihat trand penulisan naskah Iwan dalam naskah-naskah lain. Membaca naskah-naskah Iwan, semacam memberikan perspektif baru tentang perkembangan penulisan naskah teater di Indonesia. Bahwa selain Putu Wijaya yang memberikan pola baru penulisan naskah teater Indonesia, ada pula Iwan Simatupang. Kita hanya belum terlalu mengenalnya.

POTENSI PENGGARAPAN NASKAH IWAN SIMATUPANG
Naskah-naskah Iwan Sumatupang telah dipentaskan ratusan kali. Pengarapannya merentang antara konsep realisme hingga konsep absurditas. Naskah-naskah Iwan memang memberikan ruang cukup besar bagi pola penggarapan yang demikian beragam. Tapi sejatinya, apabila kita mengenal Iwan secara lebih menyeluruh, kita punya satu petunjuk yang cukup jelas dalam menggarap naskah-naskah Iwan Simatupang.
Eksistensialisme tetap harus menjadi alat bedah utama. Kita harus membaca naskah Iwan dengan menggunakan senjata ini. Eksistensi mengajarkan kita bahwa pemunculan dan penguatan setiap tokoh perlu dilakukan oleh penggarap. Sebagai aktor, kekuatan masing-masing menjadi paling penting. Sehingga tidak relevan lagi membicarakan soal aktor utama atau aktor sampingan. Semua tokoh adalah tokoh utama dalam cara pandang ini. Dan di titik inilah seringkali orang terlewat.
Setiap aktor harus menghidupkan tokoh yang diperankannya secara utuh. Eksistensi tokoh itu harus digali secara lebih serius dan dimunculkan secara maksimal. Setiap aktor memunculkan penokohan secara maksimal, sehingga kesan tanpa tokoh sampingan itu mampu dicapai. Persoalannya kemudian adalah bagaimana mengatur harmoni pertunjukan? Itulah berat peran sutradara dalam penggarapan naskah-naskah Iwan Simatupang.
Sutradara harus mampu membangkitkan eksistensi setiap tokoh, tanpa terlihat saling “menghabisi” di atas panggung. Saya lebih suka menyebutnya semacam audisi. Setiap aktor memainkan peran selayaknya sebuah audisi. Maka sutradara harus mengemas audisi itu secara lebih bijak. Secara teknis ini memang cukup rumit. Perlu berbagai percobaan untuk membuat harmoni itu tercipta. Salah satu strategi yang mungkin dicoba adalah dengan latihan masing-masing aktor. Tidak ada latihan bersama sepertinya layaknya latihan teater. aktor-aktor dilatih secara terpisah sehingga mampu memunculkan eksistensialismenya. Hanya pada tahap latihan akhir dilakukan latihan bersama untuk mengatur harmoni pertunjukan. Sekali lagi, hal ini perlu diuji coba. Tidak adanya contoh penggarapan eksistensialisme di teater Indonesia membuat kita sulit mendapatkan contoh kasus yang mudah dipahami.
Tapi bukankah di setiap langkah baru sering muncul orang hebat? Maka jadilah orang hebat itu dengan menemukan Teknik yang sesuai untuk penggarapan naskah eksistensialis seperti naskah Iwan Simatupang.

Ekwan Wiratno
Malang, 20 Maret 2019


REFERENSI
Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2019. Iwan Simatupang. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Iwan_Simatupang
Irfan Teguh. 2018. Kisah Iwan Simatupang Menjadi Manusia Hotel. https://tirto.id/kisah-iwan-simatupang-menjadi-manusia-hotel-cGoc
Misni Parjiati. 2015. Sekilas tentang Eksistensialisme Kierkegaard, Sartre, dan Camus. https://medium.com/@misni_parjiati/sekilas-tentang-eksistensialisme-kierkegaard-sartre-dan-camus-21edcdaa11c9


Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu