Kasus New Corona Virus atau lebih
dikenal sebagai Covid-19 pertama kali menjangkit manusia pada tanggal 17 November
2019. Hingga Sabtu (18 April 2020), virus ini telah menjangkiti 2.275.782 orang
dari hampir seluruh negara di dunia. Dan telah ada sebanyak 156.104 kematian yang
diakibat oleh keganasannya. Makhluk tak kasat mata ini telah merubah tatanan
peradaban manusia. Aktivitas ekonomi, Pendidikan, industri hingga aktivitas
kebudayaan menjadi hampir berhenti total. Kesan mager yang beberapa
waktu lalu dianggap merepresentasikan kemalasan kini menjadi semacam kegiatan heroic
yang mampu menyelamatkan dunia.
Di tengah perubahan yang menyeluruh
ini, maka teater terhimpit pula. Aktivitas pentas menjadi hilang seketika. Latihan-latihan
yang selama ini mengisi ruang public, sekolah dan kampus menjadi tiada. Diskusi-diskusi
yang menjadi penghuni tetap warung kopi menjadi ikut berhenti pula.
MENCARI CELAH
Di tengah pandemi Covid-19 seperti
sekarang ini, banyak usaha mencari celah untuk tetap berkreasi.
Beberapa Langkah itu diantaranya adalah
memublikasikan kembali pertunjukan sebelumnya, menggelar monolog online di
media sosial (Instagram 24hourplays), melakukan Latihan melalui platform video
conference, dan ada pula diskusi yang diselenggarakan melalui berbagai platform.
Sayangnya, hal ini merupakan minoritas bila dibandingkan dengan keseluruhan
aktivitas teater yang selama ini digelar.
Pertunjukan online Simon: A Real Estate Guy karya Monique Moses, yang dimainkan oleh Patrick Wilson
Sebagian besar seniman teater menghentikan
aktivitas teaternya. Hal ini tentu saja disebabkan karena himbauan Physical
distancing, penutupan sekolah, kampus serta pembatasan operasional
warung-warung kopi. Kegiatan pementasan juga tidak mendapatkan ijin karena selalu
melibatkan kerumunan orang banyak.
Setidaknya selama dua minggu sejak
himbauan social/physical distancing disampaikan oleh Pemerintah, aktivitas
teater hampir tidak ada. Menginjak minggu ketiga, rasanya kreativitas seniman
teater mulai memberontak. Beberapa kelompok teater bahkan telah melakukan
pertunjukan melalui platform Youtube.
Pementasan Kamateatra berjudul Autobiografi Absurd karya sutradara Anwari yang disajikan dalam Youtube
Covid-19 sebenarnya tidak hanya
menyerang teater, tapi juga semua bentuk seni yang ada. Seni musik, misalnya,
jauh lebih bergairah dalam usaha tetap berkreasi di tengah pandemi. Di banyak
platform digital mudah sekali kita temui upaya kolaborasi antar pemusik,
penyanyi dan composer lagu. Bahkan beberapa waktu terakhir ini banyak sekali
aksi konser amal yang ditujukan untuk membantu penanganan kasus Covid-19. Gempita
itu Nampak sekali. Dalam banyak akun media sosial juga Nampak begitu banyak
seniman tari yang menyajikan pementasan maupun Latihan tarinya.
Sedangkan apabila kita melihat
perkembangan sastra, kita akan menemukan berbagai upaya eksplorasi topik wabah
dalam berbagai media sastra, terutama cerpen dan puisi. Kerja individual sastrawan
ini hampir tidak mengalami gangguan selama pandemi, demikian juga pada pelaku
seni rupa.
SELEKSI ALAM KREATIVITAS
Di tengah keterbatasan ini ada dua
pilihan yang menggoda; rebahan atau berkreasi. Melihat fenomena yang menunjukkan
bahwa Sebagian besar seniman berhenti menunjukkan kreasi seninya maka dapat
kita simpulkan bahwa godaan pertama lebih menang. Dorongan untuk tetap kreatif
dalam kondisi serba terbatas macam ini tentu saja dapat digunakan sebagai
standar kesenimanan. Seniman—hemat saya—bukan hanya mereka yang menghasilkan
karya seni tapi juga yang konsisten melakukannya dalam kondisi apapun.
Maka pandemi Covid-19 seperti ini
memberikan kita informasi tentang “seleksi alam” kreativitas itu. Mereka yang
tunduk pada kemalasan dan berhenti berkreasi sejatinya luntur survival of
the fittest-nya. Mereka adalah kaum yang kalah.
Sedangkan para seniman yang terus
mencari celah diantara himpitan berbagai keterbatasannya ini, akan menjadi
generasi seniman yang unggul dan adaptif. Mereka menjadi generasi yang sangat
solutif dan mampu dengan cepat memanfaatkan teknologi digital untuk aktivitas
atau membantu aktivitas berkeseniannya. Dan harus diyakini bahwa seleksi alam
kreativitas ini pasti akan menghasilkan “spesies” yang jauh lebih hebat.
Kita telah melihat fenomena di masa
lampau, di tengah pandemi di Eropa, Shakespeare justru menghasilkan karya-karya
terbaiknya, baik itu puisi maupun naskah teater.
KITA KALAH
Memang sulit mengakui kekalahan,
tetapi faktanya memang seniman teater kalah dari Covid-19. Dengan berhentinya
aktivitas teater lebih dari 50% seperti sekarang ini, maka mau-tidak mau, kita
harus mengakui bahwa Covid-19 lebih kuat dari seniman teater. Tapi hasil ini
jangan dianggap sebagai hasil final. Ini adalah pertandingan yang terjadi
sepanjang masa.
Dengan semakin meningkatnya jumlah
seniman dan aktivitas kesenian yang menggunakan kesempatan di sela pandemi,
maka kekalahan tersebut akan dapat dikoreksi suatu ketika. Saya sendiri yakin
hal itu akan segera terjadi karena fleksibilitas seniman yang begitu tinggi
terhadap perubahan lingkungan. Sementara seniman yang gagap terhadap perubahan
ini akan “punah.”
Maka menarik untuk menunggu fenomena
yang akan terjadi selanjutnya. Selalu menarik untuk menunggu kisah heroik seni
dan seniman mengalahkan musuh bersama: Covid-19.
Malang, 18 April 2020
Ekwan Wiratno
Comments
Post a Comment