Menembus
deru dan debu. Memecahkan kebekuan malam. Perjalanan malam itu adalah
perjalanan kewarasan. Segala hiruk-pikuk telah membuat kita semua serupa
robot-robot yang bekerja secara mekanik saja. Tuas-tuas, tanpa rasa.
Maka
perjalanan ini ditempuh. Hiruk-pikuk jalanan Kota Malang dan Singosari kita
tinggalkan di belakang. Menelusuri jalanan yang semakin jauh dari keramaian,
menuju Kamateatra Art Space. Menginjakkan kaki di sana, merasakan suasana pedesaan
yang hening, seperti merasakan momen pulang kampung yang mistik.
Suasana
inilah yang rasanya ingin ditawarkan oleh Kamafest 2019. Sebagai sebuah parade
yang jauh dari kemapanan kota besar, Kamafest tentu saja menjanjikan suasana
dan sensasi yang berbeda.
KITA
MERENGGUT TEATER DARI RUMAHNYA
Kita
telah lama menculiknya, menyeretnya masuk ke dalam kendaraan, memaksanya diam,
membawanya masuk Gedung pertunjukan hasil kapitalis, lalu memaksanya unjuk gigi
di tengah penonton yang ogah-ogahan.
Rasanya
itu cukup menggambarkan teater kita saat ini. Teater kita renggut dari rumahnya
yang nyaman, asri dan penuh nilai. Maka teater menjadi produk artifisial—yang
tentu kaku, dingin dan tanpa sentuhan perasaan. Teater tersisa sebagai sebuah
sajian instan yang penuh tipudaya bahan penguat rasa dan pengawet.
Dan
hasilnya adalah masyarakat yang “sakit-sakitan.”
Teater
yang telah tercerabut dari lingkungan itu kemudian kehilangan arah. Teater yang
terlanjur asing dari asalnya itu kemudian mengais-ngais ide dan gagasan dari
imajinasi dan halusinasinya sendiri lalu memaksa para penonton menelannya
mentah-mentah.
Maka
menjadi urgent untuk menggembalikan
teater ke asalnya. Dan Kamafest 2019 adalah usaha untuk melakukan itu.
KEMBALI
KE KHITTAH TEATER
Teater
sejak pertama muncul adalah hasil respon pada terror supranatural yang dialami
nenek moyang kita. Mereka menghadapi berbagai persoalan alam seperti gunung
Meletus, angin topan, badai, penyakit, banjir maupun kekeringan serta peristiwa
alamiah perkembangan manusia (lahir, tumbuh, dan kematian) dan merasakan
kebutuhan untuk berkomunikasi dengan entitas tertentu yang dipercaya mendorong
semua fenomena itu. Komunikasi ini tentunya untuk meminta bantuan keselamatan
dari semua terror itu (Wickham, 1994) .
Komunikasi inilah yang kemudian menghadirkan bunyi, musik, nyanyian, tarian dan tentu saja teater. Bagi masyarakat Jepang, pohon besar dianggap sebagai rumah bagi Tuhan. Kearifan dan cara perhormatan seperti inilah yang masih terus dipertahankan dan menjadi satu bagian dengan pertunjukan Teater Noh yang melibatkan pohon pinus di belakangnya (Wickham, 1994) .
Komunikasi inilah yang kemudian menghadirkan bunyi, musik, nyanyian, tarian dan tentu saja teater. Bagi masyarakat Jepang, pohon besar dianggap sebagai rumah bagi Tuhan. Kearifan dan cara perhormatan seperti inilah yang masih terus dipertahankan dan menjadi satu bagian dengan pertunjukan Teater Noh yang melibatkan pohon pinus di belakangnya
Khittah
teater memang tidak pernah bisa lepas dari masyarakat asalnya. Dalam dunia
modern, teater dipaksa masuk ke Gedung pertunjukkan, penonton didatangkan
secara paksa, sehingga interaksi antara mereka menjadi kaku dan kering. Tentu
berbeda dengan pertunjukan Jaranan, Bantengan, Ludruk dan banyak kesenian
daerah lain yang digelar di tengah-tengah masyarakat. Interaksi antara teater
dan masyarakat menjadi sangat intim.
Taine
mengatakan bahwa sebuah karya seni selalu berkaitan dengan 3 hal, yaitu ras,
waktu dan lingkungan. Ras berkaitan dengan sifat atau kebiasaan yang
turun-temurun. Waktu merepresentasikan suatu zaman tertentu. Sementara
lingkungan berkaitan dengan sifat geografis. Keterkaitan 3 hal itu dan teater
membuatnya tetap hangat dan membumi.
USAHA
MEMULANGKAN TEATER
Kamafest
2019 digelar selama tiga hari berturut-turut. Di sana disajikan berbagai
sajian, mulai dari tari tradisional hingga teater modern. Pun dihadirkan para
penyaji dari Malang hingga Madura. Sebagai sebuah pesta perayaan teater yang
pulang kampung, sajian Kamafest memang perlu mendapatkan apresiasi yang lebih
pantas.
Pelibatan
masyarakat sekitar bukan hanya sebagai penonton tapi juga turut tampil di atas
panggung menjadi sangat menarik. Meskipun penataan panggung cenderung mendekati
penataan teater modern, tapi terbukanya Kamateatra Art Space yang menampilkan
latar belakang persawahan dan siluet lampu-lampu rumah di kejauhan memberikan
atmosfer berbeda bagi penonton. Belum lagi percampuran antara penonton teater
tradisi dan teater modern dalam satu ruang tentu saja menambah keunikan
pertunjukan.
Perayaan
pertemuan kembali teater dan masyarakat ini mendapatkan respon yang luar biasa
dari penonton. Sangat menarik menyaksikan dan mendengarkan celetukan dan respon
spontan dari masyarakat yang menonton. Respon seperti ini sulit sekali
didapatkan di Gedung-gedung pertunjukan teater modern. Respon spontan penonton
umumnya diredam seminimal mungkin karena dianggap mengganggu kelangsungan
pertunjukan. Sementara malam-malam di Kamafest 2019, respon itu justru
memperindah pertunjukan. Hanya saja, beberpa pertunjukan justru menjadi gagap
karena itu.
Kegagapan
ini sangat Nampak setidaknya dari dua pertunjukan, yaitu Monolog Racun
Tembakau oleh Doni Kus Indarto dan ABAB oleh Kelompok Bermain
Kangkung Berseri. Kedua pertunjukan ini sebenarnya memiliki kedekatan dengan
penonton. Respon spontan penonton banyak diakomodasi menjadi bagian dari
cerita. Tapi hal yang mengganggu adalah ketika para penyaji berusaha kembali ke
naskah, maka mereka menjadi gagap dan cenderung kaku. Hal ini sangat terlihat
terutama di akhir pertunjukan.
Pertunjukan Monolog Racun Tembakau
Pertunjukan KBKB Abab
Pelibatan
aspek sesajen dan wayang pada pertunjukan Ki Jumali dan Meimura memberikan nuansa
tradisional yang jauh lebih kental. Nuansa spiritual semacam ini hingga kini
masih sangat dekat dengan masyarakat tradisional Jawa.
Satu
lagi yang menarik adalah pertunjukan Pagi Bening oleh Padepokan Seni
Madura. Pertunjukan ini secara umum merupakan pertunjukan realis yang
memisahkan antara panggung dan penontonnya. Anehnya, pertunjukan ini
mendapatkan respon yang cukup banyak dari penontonnya. Sayangnya, respon itu
tidak dapat direspon oleh pemain karena keterbatasan konsep. Saya rasa, respon
yang terlalu banyak untuk pertunjukan realis ini diakibatkan oleh keberhasilan
perwujudan tokoh-tokoh utama. Penonton percaya bahwa para aktor adalah orang
tua sungguhan melalui gestur tubuhnya. Selain itu, salah satu aktor yang pada
hari sebelumnya telah bermain dalam naskah lain, cukup dikenali oleh penonton
sehingga timbul keakraban tertentu.
Pertunjukan Pagi Bening
Sekali
lagi, kegagalan justru terjadi ketika mereka mulai berakting; seakan-akan ini
adalah Gedung pertunjukan yang kedap suara, tenang, gelap total, penuh lampu
berteknologi tinggi, dan tentu saja penonton yang pendiam. Padahal ketika para
aktor tersebut menjadi bagian dari masyarakat penontonnya, maka pertunjukan
teater sesungguhnya terjadi.
SELALU
ADA FALS
Setiap
perayaan selalu punya sajian yang aneh dan tidak mengikuti ritme keseluruhan
sajian. Apa yang disajikan oleh Teater Gelanggang, misalnya. Sajian yang
dibalut dengan kerumitan gerak, instalasi dan akrobat-akrobat ini rasanya asing
bagi penonton.
Petunjukkan Teater Gelanggang
Pertunjukan
Teater Gelanggang secara umum memang hanya sebuah fragmen-fragmen peristiwa
yang tidak terjalin secara koheren sehingga sulit dinikmati. Ditambah lagi,
oleh Sutradara memang pertunjukan ini tidak ditujukan bagi masyarakat penonton
Kamafest 2019. Hal inilah yang membuat pertunjukan Teater Gelanggang tidak
“lezat” bagi masyarakat penonton yang begitu heterogen. Pertunjukan Teater
Gelanggang ini seperti tamu dari kota yang angkuh ketika bertamu di rumah
orang-orang desa.
Fenomena
semacam ini memiliki dua dimensi sekaligus. Pertama, ada kegagalan
komunikasi antara penyaji dan penonton. Komunikasi yang menjadi alasan
kelahiran teater menjadi tidak berjalan secara maksimal. Maka secara otomatis
terjadi hambatan penyampaian informasi. Dimensi kedua adalah upaya untuk
mengenalkan teater ke khalayak yang lebih luas. Pertunjukan Teater Gelanggang
memang umumnya digelar bagi penikmat teater yang telah terbiasa “menangkap” isi
pertunjukan semacam itu. Hanya saja apabila dimensi kedua yang mendorong
terjadinya pertunjukan, maka perlu usaha untuk mentransformasi kepada pemahaman.
Tentu perlu transisi untuk membuat proses penerimaan pertunjukan semacam itu
menjadi lebih mudah.
TEATER
YANG DIRAYAKAN
Sekali
lagi, malam tanggal 4, 5 dan 6 Oktober itu adalah sebuah perayaan menyambut
pulangnya teater. Rasanya setelah “penculikan” teater selama ini, maka
kepulangan teater patut disambut dengan berbagai hiburan. Sebagai tuan rumah,
masyarakat penonton Kamafest 2019 terbukti sangat bergembira menyambut
kepulangan ini.
Mereka
datang ke Kamateatra Art Space di saat biasanya mereka menonton televisi dan
bermalas-malasan. Dengan mengajak anggota keluarga mereka dengan sabar menunggu
pertunjukan yang digelar secara outdoor.
Mereka pula dengan sabar menonton pertunjukan teater yang terbilang cukup
“asing” bagi mereka. Ini adalah sebuah perayaan luar biasa.
Ditambah
lagi, untuk meningkatkan antusias penonton, tuan rumah Kamafest 2019 juga
membagikan beberapa doorprize yang disambut antusias oleh penonton. Memang, door prize adalah langkah cerdas untuk
“memaksa” penonton dari masyarakat sekitar untuk datang dan menonton
pertunjukan teater setiap malam. Sebagai seniman, kita harusnya berbicara
dengan Bahasa yang dipahami penonton kita, door
prize inilah contohnya.
Pemberian door prize untuk meningkatkan antusias penonton
Maka
sudahlah. Berhenti bicara tentang diri dan apa yang kita ingin tunjukkan pada
penonton. Sekali waktu biarkan teater kembali pulang dan terus menjalin
komunikasi dengan masyarakat asalnya.
Ekwan Wiratno
Malang,
31 Oktober 2019
REFERENSI
Wickham, G. (1994). A History of Theatre. London: Phaidon Press
Limited.
Comments
Post a Comment