Sebuah acara diskusi digelar hasil kerjasama antara Malang
Study-club for Theatre (MASTER), Kamateatra dan Omah Co. dengan tema “Mencari
Kemungkinan dalam New Dramaturgy Cathy Turner.” Diskusi yang berlangsung
hampir dua jam ini mendapatkan antusias dari para pesertanya. Paparan mengenai
dramaturgi menjadi topik yang relatif jarang dibahas di Kota Malang—atau
mungkin juga di Indonesia. dramaturgi menjadi barang sakral yang sejak
diucapkan sudah memiliki persepsi yang buruk dan rumit di mata para
pendengarnya.
DRAMATURGI DAN LITURGY
Apabila dramaturgi dipandang sebagai sebuah panduan
“beribadah” yang sakral, kaku, dingin dan tanpa kompromi, maka ketakutan dan
keasingannya di lingkungan teater menjadi beralasan. Tetapi bukankah langkah
menjadikan dramaturgi menjadi ritual liturgi sudah tidak lagi relevan?
Dramaturgi sejatinya adalah hasil penelitian mendalam dari
perilaku pertunjukan, teknik dan respon penonton yang menyaksikan sebuah
pertunjukan. Dramaturgi bukanlah kitab suci yang haram untuk dipertanyakan
kembali, sehingga pengajuan new dramaturgy bukanlah menjadi persoalan
sebesar pengajuan agama baru.
Dramaturgi menurut Cathy Turner merupakan sebuah dialog dan
interpersonal yang ditandai dengan hubungan dunia objek dan dunia bukan hanya
soal kemanusiaan, tapi lebih jauh dari itu. Secara mudah dramaturgi dapat
dipahami sebagai hubungan manusia dan objek. Erving Goffman (1959) bahkan
menggunakan istilah dramaturgi dalam konteks perilaku sosial. Bagi Goffman,
dramaturgi merupakan komunikasi antara seniman dan pihak lain serta sebuah
presentasi diri seniman kepada “penonton” di sekitarnya. Goffman mengajukan
bahwa persinggungan kita dengan naskah bukan hanya dengan kata, tapi juga
gestur dan acting. Sebagaimana dengan naskah, interaksi kita juga termasuk
elemen struktur, gladi dan perulangan, pengakuan dan rekomendasi sebagai sebuah
kebutuhan sosial. Teori Goffman tersebut dapat diaplikasikan dalam keragaman
konteks sosial, mulai dari situasi rumah sakit jiwa hingga penjara, sebuah
keragaman isu terkini[i].
Hanya saja, menurut Arung Wardhana Ellhafifie—pemantik
diskusi malam itu—kerja dramaturg pada hari ini masih sering dirasakan tumpang
tindih dengan cara kerja sutradara. Bahkan di beberapa forum dramaturgi
khususnya pada sharing dramaturgi Djakarta Teater Platform 2019 yang
diselenggarakan komite teater Dewan Kesenian Jakarta, Arung masih melihat
sekitar tiga orang sutradara dari pertunjukannya yang ditampilkan, tetap
kebingungan pada pemetaan mana kerja dramaturg, dan mana kerja sutradara[ii].
Dramaturgi—dan seorang dramaturg—seringkali bukan merupakan
pekerja tunggal yang eksistensinya diwakili oleh keberadaan seseorang. Kerja
dramaturgi secara nyata memang selalu terjadi, hanya saja dikerjakan oleh banyak
orang, misalnya sutradara, penata panggung (skenografer), penata lampu, dan
para seniman lain yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung
melalui segala kesempatan diskusi. Bahkan dalam banyak kasus, kerja dramaturgi
juga dilakukan oleh pekerja produksi. Hal ini tentu saja bentuk modifikasi yang
sesuai dengan situasi dan pola kerja kultural komunitas.
Meskipun demikian penting posisi dramaturg dalam sebuah
proses penggarapan pertunjukan, tetapi upaya uforia itu nyatanya banyak
mendapatkan penolakan. Begitu besarnya peran dan tingginya posisi dramaturg
bahkan diejek habis-habisan oleh Brecht. Tetapi, ejekan itu tidak lantas
menghilangkan seluruhnya peran dari dramaturgi. Setiap pertunjukan tetap harus
mempertimbangakan aspek-aspek dramaturgi.
NEW DRAMATURGY
Usaha untuk merumuskan dan terus merumuskan dramaturgi dilakukan
sepanjang masa perkembangan teater. Dramaturgi yang telah mapan seperti konsep Stanislavski,
Grotowski, Meyelhold, Brecht dan banyak tokoh teater lain terus dipertanyakan, disempurnakan,
sekaligus diingkari dengan berbagai dalil dan penemuan baru. Usaha untuk lepas
dari kekangan teori dan tokoh yang telah ada itulah yang kemudian memunculkan
perspektif baru yang disebut new dramaturgy.
Cathy Turner mendefinisidikan new dramaturgy sebagai
sebuah usaha politis untuk membujuk kita melihat realita dengan pandangan baru.
Sehingga new dramaturgy sejatinya tidak hanya mempertimbangkan
aspek-aspek pemanggungan, tetapi juga aspek sosial dan historis yang meletak di
sana. Bertolt Brecht dalam uraiannya mengenai dramaturgi menggabungkan beberapa
komponen yaitu teori, pertunjukan, teks dan anekdot dengan menggunakan sudut
pandang kontekstual. Usaha ini diharapkan mampu merekonstruksi sebuah teater
untuk tujuan pembentukan masyarakat yang baru.
New dramaturgy menurut Cathy Turner memiliki beberapa ciri, yaitu open
up space, relativisme, eksplorasi kemungkinan cara menciptakan makna dan
penggunaan teknologi tekini.
Ruang kreatif di Gedung-gedung
pertunjukan dirasakan tidak lagi cukup dan memadai. Upaya-upaya untuk melakukan
ekplorasi ruang pertunjukan yang lain telah dilakukan sejak pertengahan abad
20. Kemungkinan-kemungkinan menggelar pertunjukan yang terkait dengan
keberadaan sebuah ruang tertentu dirumuskan sebagai site-specific
performance.
Dramaturgi lama memberikan
kaidah-kaidah ketat yang kaku. Hal inilah salah satu hal yang ditolak oleh new
dramaturgy. Penilaian-penilaian terhadap kualitas seni teater menjadi
sangat relatif bergantung pada kultur dan ketercapaian sasaran. Penilaian tidak
lagi digantungkan pada standar universal.
Cara-cara untuk menciptakan makna menjadi sangat luas
kemungkinannya. Beberapa sudut pandang tersebut diantaranya Dramaturgy as
Ecology Peter Eckersall, Telling Stories Across Forms Yolanda
Ferrato, Dramaturgy in Post Dramatic Joseph Danan, dan Dramaturgy and
the Alternative Science Play Alex Mermikides.
Cathy Turner sangat dikaitkan dengan konsep site-specific
performance. Konsep ini memadukan antara place dan space. Place
dimaknai sebagai tempat, kaku, statis dan diposisikan sebagao objek. Sementara space
merupakan bentuk aktif atau sebuah kegiatan atau momentum yang berkaitan dengan
proses penciptaan seni. Menurut Michel de Certeau, space adalah practical
place. Sebagaimana perumpamaan kertas dan aktivitas menulis. Kertas adalah
objek, sementara aktivitas menulis adalah penciptaan seni. Kota dan kegiatan
manusia. Maka space tidak hanya dihasilkan oleh arsitektur dan urban
planinner tetapi juga oleh aktivitas manusia sehari-hari di dalamnya. Istilah yang
tidak jauh berbeda disampaikan oleh Mike Pearson dan Cliff McLucas yang
menggunakan terminologi host dan ghost. Host sebagai objek
bersifat visible, sedangkan ghost sebagai even yang bersifat transparan.
Site-specific performance dicetuskan pada tahun 1960 oleh Arthur Sainer sebagai
usahan untuk menolak elitism yang pada masa itu menjadi pembatas yang cukup
mengganggu. Usaha ini merupakan usaha untuk mendekatkan pertunjukan pada
komunitasnya, yaitu dengan melibatkan penonton baru di ruang yang dikenal dan
nyaman/familiar baginya.
Site-specific performance dicurigai sebagai sebuah gimmic di tengah kemapanan
seni pertunjukan teater pada tahun 1960an. Upaya ini tentu saja upaya serius
untuk mewujudkan kemampuan untuk menarik penonton baru dan membuka kesempatan bagi
seniman dalam mengeksplor lingkungannya. Maka kesuksesan konsep ini adalah
adanya interaksi yang kuat antara tempat dan kreasi seni. Selain itu,
keterkaitan penonton dalam pertunjukan ditandai oleh pengalaman yang mendalam.
Secara umum hubungan proses kreatif dan lokasi pertunjukan menurut
Gay Mc Auley terbagi atas tiga jenis, yaitu
Pada tipe ini sangat terkait pada
hubungan seniman dan komunitasnya. Pencabutan pertunjukan dari komunitasnya
akan mengurangi esensi dan ketercapaian sebuah karya.
Keterkaitan antara sebuah karya dan
tempat serta masyarakat di sekitarnya sangatlah erat sehingga apabila
dipindahkan ke tempat lain maka akan menghilangkan keseluruhan esensi
pertunjukan.
Taylor memberikan penekanan pada prinsip deep dramaturgy
pada site-specific theatre dengan beberapa usaha, yaitu
b. Ketiba-tibaan dan kontradisksi digunakan untuk meningkatkan kompleksitas pertunjukan
c. Setiap elemen dipilih untuk meningkatkan kemampuan penonton untuk menghargai karya seni
d. Keragaman teater berkembang seiring meningkatnya hubungan dengan penonton
Upaya-upaya untuk terus melakukan ekplorasi dan pengembangan new
dramaturgy terus dilakukan di seluruh penjuru dunia. Dengan beragamnya
tempat beserta elemen kultural, sejarah, hingga aspek sosial politik di
Indonesia memberikan bahan yang tidak pernah habis. Belum lagi bila dikaitkan
dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat dan terus akan berlangsung
sepanjang masa. Konsep site-specific performance yang melibatkan media
dalam karyanya sangat mirip dengan konsep forum theatre yang
dikembangkan oleh Augusto Boal. Konsep ini meskipun sangat jarang diterapkan di
Indonesia, memiliki potensi dalam penerapannya.
Maka diskusi malam itu bukanlah sebuah titik. Diskusi-diskusi
yang awalnya diarahkan spesifik pada dramaturgi Cathy Turner, ternyata tidak
tuntas didiskusikan. Wacana-wacana dramaturgi relatif asing bagi sebagian
penonton, sehingga diskusi malam itu hanya sebatas dramaturgi secara umum. Belum
lagi, jumlah peserta diskusi juga relatif terlampau sedikit bila ditilik dari
pentingnya pembahasan mengenai dramaturgi. Hal ini tidak terlalu mengejutkan
karena memang proses literasi yang bergitu minim di dunia teater Kota Malang. Meski
demikian, kemunculan diskusi semacam ini adalah sebuah awal yang luar biasa
bagi diskusi-diskusi selanjutnya.
Malang, 12 September 2019
Ekwan Wiratno
[i]
Cathy Turner dan Synne Behrndt. 2016. Dramaturgy and Performance: Theatre and
Performance Practices. Palgrave. New York.
[ii] Arung
Wardhana Ellhafifie. 2019. Mencari Kemungkinan dalam New Dramaturgy Cathy
Turner.
Cathy Turner. 2015. Writing for the contemporary theatre: towards a radically inclusive dramaturgy. Studies in Theatre and Performance Volume 30 Number 1: 75-90.
Cathy Turner. Palimpsest or Potential Space? Finding a Vocabulary for Site-Specific Performance. NTQ 20:4 Cambridge University Press.
David Wohl. 2014. Site-Specific Theatre: Producers Take Plays Into Real-World Settings and Invite Audiences to Join Them for the Ride. Southern Theatre Volume LV Number 1.
Gay McAuley. 2005. Site-specific Performance: Place, Memory and the Creative Agency of the Spectator.
Anna Pickard. 2008. Losing sight of site-specific theatre.
Cathy Turner. 2015. Writing for the contemporary theatre: towards a radically inclusive dramaturgy. Studies in Theatre and Performance Volume 30 Number 1: 75-90.
Cathy Turner. Palimpsest or Potential Space? Finding a Vocabulary for Site-Specific Performance. NTQ 20:4 Cambridge University Press.
David Wohl. 2014. Site-Specific Theatre: Producers Take Plays Into Real-World Settings and Invite Audiences to Join Them for the Ride. Southern Theatre Volume LV Number 1.
Gay McAuley. 2005. Site-specific Performance: Place, Memory and the Creative Agency of the Spectator.
Anna Pickard. 2008. Losing sight of site-specific theatre.
Comments
Post a Comment