Pernahkah kita melihat
pertunjukan teater yang tidak dihiraukan penontonnya. Ketika lampu panggung
mulai menyinari, adegan digelar, musik ditabuhkan, tapi penonton malah
mengobrol sendiri atau asyik menonton handphone masing-masing. Apakah
kita semakin sering menyaksikan pemandangan itu?
Dalam kondisi ini, maka kita
melihat dua pertunjukan sekaligus. Pertunjukan pertama adalah panggung teater
yang ditonton para pemainnya sendiri atau kru di belakang panggung. Pertunjukan
kedua adalah pertunjukan yang dilakukan oleh penonton sendiri.
Lalu apa gunanya membuat
pertunjukan teater?
PESIMISME SENIMAN TEATER
Seniman teater adalah
orang-orang yang percaya diri. Mereka mampu menghilangkan—atau setidaknya
mengesampingkan—rasa canggung dan ketakutan untuk tampil di depan orang banyak.
Itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Tapi ada pesimisme yang terus menghantui
mereka.
Setidaknya pesimisme ini
nampak dalam beberapa hal, yaitu rendahnya harga tiket, kecilnya target jumlah
penonton, minimnya publikasi, rendahnya kemauan untuk berkompetisi meraih
funding dan lain sebagainya. Pesemisme ini tentu akan merusak perkembangan
teater kita.
Sebuah sajian teater adalah
hasil proses berfikir, berencana dan eksekusi yang dilakukan dalam jangka
penggarapan yang panjang dan mengonsumsi banyak sumber daya. Tentu saja ini
adalah karya terbaik senimannya. Maka apabila sebuah karya itu tidak
dipublikasikan dengan baik, maka jelas ada ketidakyakinan pada kualitas karya
itu. Di tengah perkembangan media yang begitu pesat, seharusnya teknik dan
strategi publikasi teater juga ikut berkembang. Tapi pada kenyataannya, banyak
sekali pertunjukan yang tidak diyakini kualitasnya, karena itu tidak
dipublikasikan dengan seluas-luasnya. Kecenderungan pesimisme kualitas karya
ini juga dilihat dari rendahnya harga tiket dan jumlah penonton yang sedikit.
Proses penggarapan pertunjukan
yang menghabiskan begitu banyak sumber daya—tentu juga finansial—memerlukan
penghargaan yang sepadan. Salah satu bentuk penghargaan oleh penonton adalah
dengan kesediaan membayar tiket pertunjukan dengan harga yang sepadan. Tentu,
kata “sepadan” ini dapat dimaknai sesuai dengan kewajaran dan kondisi keuangan
para penontonnya. Ini bukan persoalan nominal uang semata, tapi upaya kreatif
memang layak mendapatkan penghargaan.
Dalam tradisi opera atau
teater di Broadway, penghargaan penonton pada seniman dan pertunjukannya bukan
hanya terlihat dari harga tiket yang mahal, tapi juga pada sikap penonton
ketika memasuki Gedung pertunjukan. Penonton mereka—dengan penuh
kesadaran—datang ke Gedung pertunjukan dengan pakaian yang sopan dan cenderung
formal, bersikap tertib dan menaati peraturan Gedung; misalnya dilarang merokok
dan makan saat pertunjukan digelar.
Penghargaan ini tidak sepele.
Penghargaan ini adalah salah satu bentuk penghormatan penonton pada seniman
teater dan karyanya.
Pesimisme seniman teater juga
seringkali muncul pada sedikitnya penonton yang menjadi target pertunjukan.
Tentu ini masih akan terus menjadi perdebatan, tapi yang saya soroti di sini
adalah bahwa semakin banyak penonton maka “pesan” pertunjukan akan semakin
banyak mempengaruhi orang. Tentu ada saja seniman yang ingin ditonton secara
eksklusif hanya oleh beberapa, belasan atau puluhan orang dalam sekali
pertunjukan. Ini adalah pilihan. Tetapi tentu saja, untuk dapat mempengaruhi
sangat banyak orang, pertunjukan eksklusif ini dapat digelar berkali.
Pesimisme yang justru
berbahaya adalah karena kualitas pertunjukan tidak diyakini memenuhi standar
yang tinggi, maka penggarap tidak berani mengundang banyak penonton. Hal ini
paling dominan terjadi pada kelompok teater medium dan kecil. Penonton mereka
sebagian besar—kalau tidak ingin disebut sebagai semuanya—adalah kawan-kawan
seniman teater sendiri. Ini tentu merugikan teater karena tidak memiliki
potensi meningkatkan jumlah penonton dan calon seniman teater.
Pesimisme yang tidak kalah
memperihatinkan adalah rendahnya kemauan seniman teater untuk mengelola
keuangan. Tentu saja pengelolaan keuangan ini juga berkaitan dengan penggalangan
dana, pengelolaan dan pelaporan pendanaan. Kelompok-kelompok teater medium dan
kecil cenderung menggunakan anggaran yang minimalis dan malas untuk melakukan
penggalangan dana.
Sumber-sumber pendanaan untuk
pertunjukan teater tentu saja jumlahnya sangat banyak. Mulai dari perlombaan,
kompetisi hibah, hingga proses crowdfunding yang telah disediakan di
beberapa platform. Kemalasan seniman teater untuk melakukan penggalangan dana
itu akan berimbas pada pendanaan untuk proses kreatif dan kehidupan seniman itu
sendiri. Maka wajar masih terus digaungkan sebuah mitos: “Jangan mencari
penghidupan di dunia teater, tapi hidupilah teater.” Itu hanya akan diamini
oleh para pemalas.
Belum lagi apabila kita
melihat peluang-peluang lomba dan hibah yang bertebaran di dunia maya. Program
hibah seperti Kelola dan Salihara hampir setiap tahun terbuka bagi seluruh
seniman di Indonesia. Ini adalah peluang yang seharusnya tidak dilewatkan.
Belum lagi apabila kita mau mencari di internet, maka kita akan dengan mudah
menemukan berbagai hibah kompetisi dari luar negeri.
Sementara fenomena crowdfunding
juga dapat dimanfaatkan oleh seniman teater. Upaya penggalangan dana bagi
pertunjukan teater sangat minim apabila dibandingkan dengan upaya penggalangan
dana untuk kegiatan bantuan kemanusiaan dan keagamaan. Hal ini tentu saja
terjadi salah satunya disebabkan malasnya seniman teater untuk menggunakan
fasilitas ini. Situs-situs crowdfunding seperti kolase.com,
kitabisa.com, crowdfunding.airtripp.com, indiegogo.com dan berbagai situs
gotong-royong pendanaan dapat dimanfaatkan untuk menggalang dana produksi.
Belum lagi apabila kita mampu
menggalang dana secara offline yang selama ini kita kenal seperti pengajuan
proposal ke perusahaan dan individu, upaya fundraising dengan penjualan
souvenir, tentu saja keterbatasan keuangan tidak menjadi hal yang terlampau
serius dan menakutkan.
TEATER DAN KEKUATAN DOBRAK
“Art is not a mirror held
up to reality but a hammer with which to shape it.”
― Bertolt Brecht
Setidaknya kita harus optimis
seperti Brecht. Bahwa teater adalah sebuah alat yang mampu melakukan banyak
hal. Sebagai palu, teater mampu membentuk meja-kursi, begitu juga mampu
menghancurkannya berkeping-keping. Tentu saja dalam hal ini, kita berbicara bahwa
objeknya selalu adalah masyarakat.
Teater terbukti bukan hanya
mampu mewakili aspirasi masyarakat, tapi juga mampu menjadi penggerak sebuah
perubahan. Bahkan oleh Augusto Boal, teater digunakan hingga pada titik
perubahan peraturan atau kebijakan negara. Teater difungsikan bukan semata
hiburan, tetapi juga pengubah pemikiran manusia.
Kepercayaan diri bahwa sajian
teater yang digarap memiliki peran lebih dari hiburan perlu digarisbawahi dalam
diri seniman teater. Seniman teater seringkali hanya menggantungkan Garapan pentasnya
pada tujuan hiburan atau sarana “muntah.” Setelah mereka menelan segala gagasan
dan informasi, maka pada suatu ketika semuanya perlu dimuntahkan. Fenomena ini mengingatkan
saya pada fenomena Bulimia Nervosa. Kelainan ini memicu seseorang untuk makan
begitu banyak makanan, tetapi mengalami penyesalan atau rasa bersalah dan
memicu dirinya untuk memuntahkan makanannya kembali dengan cara paksaan fisik. Perlu
digaris bawahi frase kata “penyesalan” dan “rasa bersalah” di sini.
Bulimia Nervosa bagi seniman
teater adalah upaya individual yang memaksa pada penonton untuk mengonsumsi
kembali hasil “muntahannya.” Ini begitu Nampak pada pertunjukan yang tidak
dapat ditangkap dan dicerna penonton. Pada kasus ini terjadi hambatan proses
transfer ide/gagasan/informasi dari pertunjukan kepada panggung. Upaya egoisme dan
narsisme seniman teater inilah yang membuat kegagalan komunikasi
penyaji-penonton semakin parah saja. Keprimitivan motif pertunjukan ini yang
seringkali membuat kapok para penonton pemula. Ini adalah kebodohan yang terus
dipuja-puja, seakan semakin tidak dapat dipahami sebuah pertunjukan maka akan
semakin keren dan berkualitas. Omong kosong!
Ilustrasi egoisme oleh Francesco Ciccolella
Kesadaran bahwa teater
ditujukan utuk masyarakat nampaknya perlu dikembalikan. Seniman teater kini
banyak terjebak pada egoisme motif-motif yang terlampau sederhana dan sia-sia. Kalaupun
bukan egois, beberapa pertunjukan nampaknya mengalami kegagapan dalam Teknik penyampaian
sehingga tidak dapat dicerna penontonnya. Lalu buat apa? Akankah gelaran
pertunjukan adalah final goal? Sehingga apapun yang terjadi setelahnya hanyalah
basa-basi semata?
TEATER DAN RUANG KEPEDULIAN
Pada tahap pertama, seni
diciptakan untuk pemujaan pada leluhur atau entitas yang mengendalikan
kehidupan. Pada tahap berikutnya seni diperuntukkan bagi upaya hiburan dan
menghilangkan kepahitan hidup—kemunculan drama tragedi pada masa Yunani dan
setelahnya lebih banyak dimaksudkan untuk menutup kesedihan hidup warganya.
Pada tahap selanjutnya seni
diciptakan untuk menyampaikan sebuah ide, gagasan, kritikan bagi masyarakatnya.
Upaya penyampaian ini kemudian mengembangkan berbagai teknik yang begitu
beragam hingga kini. Apakah disampaikan secara langsung sebagai cerita dan
dialog, atau disembunyikan melalui metafora dan upaya absurditas yang menuntut
perenungan dalam jangka waktu tertentu. Seni diharapkan mampu berkontribusi
dalam perbaikan pemikiran, kebiasaan, budaya dan pola hidup masyarakatnya.
Tapi kemudian seni perlu
mendapatkan fungsi yang lebih jauh lagi. Seni, sebagai salah satu media hiburan
dan penyampaian yang menarik, membawa muatan-muatan yang jauh lebih bermakna. Akhir-akhir
ini seni juga membawa misi tertentu seperti penggalangan dana untuk pendidikan,
untuk upaya penyelematan satwa dan lingkungan, hingga untuk penyelamatan
individu-individu. Penyanyi Tulus, misalnya, melakukan penggalangan dana
melalui karya lagunya untuk upaya pelestarian dan perlindungan satwa Gajah. Upaya-upaya
semacam ini telah dan sedang berlangsung oleh berbagai seniman di berbagai
bidang.
Bagaimana dengan teater?
Nampaknya seniman teater agak
jauh dari itu. Mereka cenderung dipusingkan oleh persoalan mereka sendiri:
kesulitan pendanaan, kesulitan mencari tempat latihan, kesulitan pemasaran dan
persoalan lain. Belum lagi ini diperparah oleh persoalan finansial para
senimannya.
Padahal apabila ditilik dari
komponen penyusunnya yang terdiri atas berbagai unsur seni, maka sejatinya
teater memiliki potensi dalam mengumpulkan banyak orang, mengedukasinya, dan
melakukan upaya penggalangan dana untuk berbuat lebih dari sekedar perubahan
pikiran. Daripada mereka hanya mengedarkan kotak sumbangan di lampu merah,
rasanya akan lebih elegan dan bermartabat bila mereka menggelar pertunjukan
untuk tujuan yang sama. Menggelar pertunjukan di Gedung yang baik, dengan harga
tiket yang cukup tinggi, dan hasilnya disumbangkan bagi upaya kesehatan,
pertolongan korban bencana dan pihak-pihak yang memelukan bantuan; adalah
sebuah usaha yang luar biasa yang dapat dilakukan oleh seniman teater. Usaha
macam ini adalah usaha melampaui yang selama ini dilakukan oleh para seniman. Ini
adalah usaha yang jauh lebih mulia dan bermanfaat bagi masyarakatnya.
MASIHKAH INGIN ASYIK SENDIRI?
Lalu sampai kapan seniman
teater terus asyik sendiri? Terus bicara soal dirinya dan keresahannya, tapi
tidak pernah bicara tentang kondisi sekitarnya dan berbuat yang lebih konkrit. Masa
dimana teater hanya bicara soal seni murni, bicara soal curhatan senimannya
(yang narsis), dan hidup di pojok-pojok yang gelap dan lembab harusnya telah
usai. Teater harusnya mengembalikan fungsinya yang begitu dahsyat.
Dan bukankah memang begitu
harusnya?
Ekwan Wiratno
Malang, 19 Agustus 2019
Comments
Post a Comment