Skip to main content

MEMANDANG PELANGI DI HARI BURUH



Pada tanggal 1 Mei 2019, Malang kembali diguyur hujan sejak sore seperti biasa. tetapi hal itu tidak menciutkan semangat Teater Pelangi Universitas Negeri Malang untuk mementaskan karyanya. Bertajuk "Pentas MONETER #2", yang menyajikan 3 pertunjukan; Membaca Tanda-Tanda karya Rahman Sabur, Kembang Mawar karya N. Riantiarno, dan Bunga tidur, adaptasi dari Baju Loak Sobek Pundaknya karya Wiji Tukul.



Pementasan dimulai dengan sebuah Monolog berjudul membaca tanda-tanda, karya Rachman Sabur. Dalam pertunjukan pertama ini, penonton diajak untuk mengenal lebih dalam isu mengenai konflik agraria. Cukup pas ditampilkan saat momen hari buruh saat itu.

MEMBACA TANDA-TANDA
Akhir-akhir ini negeri kita banyak dibanjiri isu-isu yang saya rasa cukup mengancam, salah satunya tentang perkerja dan investor asing. mungkin hal inilah yang menjadi dasar teman-teman dari teater pelangi mementaskan  naskah ini.
Pertunjukan ini bercerita tentang seseorang yang mempertahankan tanah warisan leluhur dari orang asing, yang kemudian ia dijadikan budak di tanahnya sendiri.  Pada akhirnya ia ditembak mati oleh orang suruhan penguasa.
Pada awal pertunjukan kita langsung dikejutkan oleh teror yang berasal dari suara hantaman martil dan batu, bunyi ‘klang’ yang memekakkan telinga. Bunyi ini menghasilkan suasana yang kuat yakni suasana pertambangan. Dilain pihak, terdapat bunyi lain dalam mendukung suasana ini yakni pukulan palu kecil pada batu-batu kecil.
Tetapi setelah suara itu hilang, pertunjukan terkesan biasa saja. Sang aktor membuka pertunjukan dengan tensi cukup tinggi, dan semakin tinggi hingga akhir pertunjukan. Hal ini saya rasa membuat penonton merasa lelah ketika sampai pada setengah hingga akhir pertunjukan. Dinamika ceritanya kurang, petunjukan terkesan seperti orasi marah-marah dari awal hingga akhir. Tubuh aktor terkesan "mati", gestur yang digunakan saya rasa bukan gestur untuk pertunjukan, melainkan untuk baca puisi. Musik terkesan berdiri sendiri, kurang mendukung pertunjukan.
Tetapi di tengah pertunjukan ada hal yang membuat saya tertarik, yaitu ketika perpindahan ruang dari sang aktor sebagai orang yang membela tanahnya menjadi dialog antara alam dan anaknya (manusia). Perpindahan ruang ini saya rasa cukup manis dan timingnya pas. Hanya pada momen inilah pertunjukan tidak menjadi orasi yang menegangkan dan penonton dapat kembali menonton pertunjukan dengan rileks dan fokus yang terjaga.
Pertunjukan berlanjut dengan actor bernyanyi sebuah lagu daerah – sumatera. Penulis menangkap bahwa lirik lagu tersebut mencurahkan betapa ia (actor) mencintai tanah airnya, tanah kelahirannya. Lalu pemusik memainkan gitar nya menirukan nada lagu tersebut.
Penulis merekam music tersebut dan menelaahnya pada saat pulang. Penulis menemukan bahwa  pemusik menggunakan  akor D# mendekati E. Entah karena senar gitar yang buruk atau karena konsep yang seperti itu. Mungkin saja gitar tersebut telah disetel sesuai dengan alat music pendamping lainnya.
Pada permainan gitar lagu pertama, tempo yang digunakan adalah 60 bpm. Tempo tersebut dapat dikategorikan sebagai tempo yang lambat.
Pada permainan gitar lagu terakhir – dengan didampingi permainan jimbe untuk ritmisnya, tempo yang digunakan adalah 125 bpm. Tempo tersebut terbilang tempo yang cepat atau dalam dunia music lebih dikenal allegretto. Namun pada permainannya kurang berdampak begitu signifikan. Dinamika (dynamics music) lagu pada saat suasana meuncak, kurang mulus. Pemusik cenderung labil akan dinamika permainannya. Alangkah baiknya apabila permainan jimbe dimainkan dengan crescendo atau dinamika yang bertahap menjadi nyaring. Yakni dari dinamik pelan (piano) lalu akhirnya memuncak pada  fortissimo atau sangat nyaring. Dengan begitu emosi yang dibangun akan mudah tercapai. Akor yang digunakan adalah akor ‘ii’ – akor kedua minor dari nada dasar atau Fm mendekati F#m. Penulis berpikir bahwa pemilihan akor ini dipilih dengan baik. Sifat akor ‘ii’ ini dapat menaikkan tensi pada music.
Secara kesuluruhan chord progression – kunci yang digunakan adalah

V – IV – V – I  dan

ii


KEMBANG MAWAR
Siapa yang hatinya tidak berbunga-bunga ketika berbicara tentang cinta? tetapi cinta tak selalu soal kebahagiaan, tapi juga kesedihan. Hal inilah yang menjadi sorotan utama dalam pertunjukan ini. Cinta yang bersemi sejak lama oleh seorang lelaki pendiam, yang akhirnya harus kandas karena ia tak segera mengungkapkan perasaannya kepada sang wanita pujaan.
Cukup membingungkan ketika pertunjukan ini dimulai, karena naskah ini tidak disebutkan dalam poster.
Ketika awal lampu menyala, penonton dihadapkan dengan sebuah level, dan kursi diatasnya. Kemudian sang aktor berjalan dari tengah penonton menuju level dan kursi tersebut. Sebuah monolog minimalis. Disinilah saya rasa banyak orang yang terjebak. Dengan model pertunjukan seperti ini, harusnya aktor merupakan sosok yang sangat kuat dan matang, karena penyaji tidak memiliki elemen lain yang dapat digunakan untuk menutupi kekurangan pertunjukan. Elemen satu-satunya terletak di keaktoran. Saya rasa sang aktor masih kurang mengambil fokus seluruh penonton. Gestur yang biasa saja, bahkan banyak gerakan dari aktor yang saya rasa kurang natural. Ritme yang dibangun, menurut saya terkesan lambat dan kurang dinamika.
Dan ada satu hal lagi yang cukup penting diperhatikan adalah masalah interpretasi naskah. Saya melihat pertunjukan ini seperti membaca ulang naskah. Tidak ada hal yang baru. Padahal disitulah sutradara seharusnya berfungsi. Membuat sebuah pertunjukan mejadi lebih fresh dan "relate" dengan kondisi sekarang.

BUNGA TIDUR
Sebagai penutup, Teater Pelangi mempersembahkan sebuah pertunjukan yang diadaptasi dari puisi milik Wiji Thukul yang berjudul Baju Loak Sobek Pundaknya. Pertunjukan ini mempertontonkan dialog Wiji Thukul dengan rasa bersalahnya terhadap istrinya dan Sipon yang lelah dengan apa yang dialaminya.

Anam, Muklis, Yanto
Malang, 2-3 Mei 2019

Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu