Skip to main content

ISLAM DAN TEATER : Menggali Tradisi Teater dalam Peradaban Islam

SEJARAH TEATER DALAM PERDABAN ISLAM
Sejak tahun 60-an, di kalangan seniman muslim muncul gagasan-gagasan tentang teater Islam, seiring dengan munculnya perbincangan-perbincangan tentang sastra Islam. Seminar-seminar tentang sastra Islam yang di dalamnya dibahas juga tentang teater Islam beberapa kali diadakan dan buku-buku yang membahas sastra dan teater Islam pun ditulis para pakar muslim[i].


Pertunjukan Khayal al-zil

Kemunculan teater dalam tradisi Arab bermula dari munculnya pertunjukan teater tradisi. Pertunjukan teater tradisi tersebut diantaranya adalah Khayal al-zil (bayangan imajinasi) dan Ta'zieh (pertunjukan teater belasungkawa). Khayal al-zil merupakan pertunjukan wayang tradisional dari Mesir dan diketahui telah ada sejak abad ke 10. Ide cerita yang diangkat oleh Khayal al-zil merupakan khasanah dan metafora yang dalam tentang Islam serta pada umumnya disajikan selama bulan Ramadan. Kesenian wayang ini pada abad ke 16 menyebar ke Turki dan mendapat perkembangan dengan penambahan warna sehingga mendapatkan nama baru yaitu Karagoz.

 
Bentuk panggung takiyeh untuk pertunjukan Ta'zieh


Ta'zieh diketahui berasal dari Iran sejak abad ke 17 dan mengisahkan mengenai tragedi kematian Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW, pada bulan Muharram. Ta'zieh awalnya dipentaskan secara outdoor di tempat umum seperti alun-alun atau persimpangan jalan. Pada perkembangannya, Ta'zieh umumnya dipentaskan pada suatu tempat bernama takiyeh, yang memungkinkan penonton menyaksikan dari segala arah (dalam Teknik panggung modern disebut panggung arena). Ta'zieh melibatkan beberapa alat musik, yaitu drum, trompet, seruling dan sambal serta para pemainnya (terutama tokoh protagonist) menyanyikan dialognya.
Teater modern dalam dunia Arab, sebagai tempat awal kelahiran Islam, baru dikenal sejak terjadi persentuhan Timur dan Barat yang menghantarkan dunia Arab dan dunia Islam memasuki awal masa modern pada awal abad ke-19. Memasuki masa kebangkitan di awal masa modern, dunia sastra dan seni budaya Arab mengalami perubahan, termasuk dalam bidang teater. Yang pertama kali menekuni bidang teater adalah para seniman Libanon, karena mereka mendapat kesempatan lebih dahulu bergaul dengan orang-orang Eropa. Setelah itu barulah Mesir mengikuti apa yang dilakukan oleh Libanon. Demikianlah drama masih begitu asing dalam khazanah sastra Arab sampai pertengahan abad ke-19. Mereka mengenal drama melalui tontonan dan pengalihbahasaan oleh kelompok para sastrawan yang belajar di Eropa, terutama mereka yang pernah belajar di Prancis.
Seminar-seminar berkenaan dengan sastra Islam, yang di dalamnya dibahas pula tentang teater Islam, telah diadakan di India, Madinah, Riyad, dan Mesir. Para pakar yang menulis buku berkenaan dengan seni dan sastra Islam, di antaranya, Syekh Abū al-Hasan al-Nadawi, sebagai pencetus awal ketika beliau terpilih menjadi anggota al-Majma’ al-‘Ilmi al-‘Arabi (Lembaga Ilmiah Arab) di Damaskus. Tulisan-tulisan beliau merupakan penghantar kepada perumusan sastra Islam. Kemudian, disusul oleh tulisan-tulisan Sayyid Qutb yang menyerukan sastra Islam yang spesifik. Lalu, menyusul Muhammad Qutb dengan bukunya al-Fann al-Islami, Dr. Najib el-Kilani dengan buku-bukunya: al-Islamiyah wa al-Mazāhib al-Adabiyyah, Madkhal ilā al-Adab al-Islāmi dan Nahwa Masrah Islami. Selain itu. Dr. Imaduddīn Khalil, salah seorang pionir gerakan Sastra Islam, dengan bukunya an-Naqd al-Islāmi al-Ma’āsir.
Dalam sejarah kebudayaan Islam, kita bisa meneliti perkembangan teater, dimulai ketika teater diperkenalkan di dunia Arab setelah penyerbuan dan penaklukan Mesir oleh Napoleon pada tahun 1798. Teater kemudian mulai dipersembahkan dengan cerita masyarakat Arab-Islam, biasanya berisi kisah-kisah keagungan dinasti Islam. Pada tahun 1849, Maran al-Naqqas mengangkat epik Seribu Satu Malam ke pentas teater. Kumpulan teater al-Naqqas ini mengangkat kisah Khalifah Harun al-Rasyīd bersama wazirnya, Ja’far, menjadi sebuah pementasan klasik yang amat bagus.

TEATER DALAM PERADABAN ISLAM INDONESIA
Melacak teater dalam kalangan umat Islam Indonesia dapat dimulai dari catatan tentang munculnya himpunan-himpunan seni budaya dalam kalangan umat Islam Indonesia pascapemilu 1955, yang membangun struktur budaya sebagai wacana tandingan untuk membendung pengaruh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) yang didirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1950. Pada tahun 1956, berdirilah Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) yang kemudian pada tahun 1961 membentuk Majelis Seniman Budayawan Islam (MASBI) yang banyak memunculkan pertunjukan-pertunjukan teaternya, baik melalui panggung, radio maupun televisi. Menurut Hamdy Salad[ii], sampai tahun 1986, HSBI telah memproduksi 510 drama radio, 306 drama panggung, dan 180 drama televisi. Organisasi-organisasi Islam pun tidak ketinggalan membentuk lembaga-lembaga kesenian, seperti LESBUMI (Nahdlatul Ulama), ISBM (Muhammadiyah), LESKI (Perti) dan LESBRA (al-Washliyah).
Dari sebuah teks seni yang disebut shalawat atau al-Barzanji (pujian kepada Nabi Muhammad Saw.) saja, telah memunculkan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang berbeda-beda dalam setiap wilayah. Perubahan teks-teks tersebut antara lain dapat dikenali melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat yang disebut: “Slawatan Mulud”, “Slawatan Laras Madya”, “Mocopat”, “Slawatan Montro” (wilayah Kota Jogja dan Bantul); “Slawatan Jawi” (Gunung Kidul); “ “Slawatan Mondreng”, “Kojanan”, ‘Rodad”, “Emprak”, “Kuntulan”, Trenggonan, “Peksimoi”, “Ndolalak”, “Badui” , Kubrosiswa” (Sleman); dan “Angguk” (Kulon Progo) serta “Kasidahan” atau “Samroh” yang muncul hampir dalam semua wilayah. Pada awal dekade 60-an, muncul gerakan pembaruan dalam dunia teater Islam dengan lahirnya Teater Muslim di Yogyakarta yang kelahirannya dibidani oleh Muhammad Diponegoro pada tahun 1963 dengan drama terkenalnya berjudul “Iblis”. Menyusul kemudian pada dekade-dekade selanjutnya, kelompok-kelompok teater independen, baik di lingkungan pesantren, perguruan tinggi maupun lembaga keagamaan yang dimotori oleh generasi muda Islam[iii].
Di Yogyakarta, bermunculan teater yang mengusung ideologi Islam yang lahir dari lingkungan kampus, yaitu sanggar Salahuddin (UGM), Teater ESKA (UIN Sunan Kalijaga), Sanggar Cordoba (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Dakwah), dan kelompok teater yang tergolong bontot, Sanggar NUUN (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Adab). Ada satu grup teater yang munculnya dari kalangan pesantren yaitu Sanggar Sunan.
Kelompok-kelompok tersebut telah menghasilkan banyak karya pertunjukan, misalnya Lautan Jilbab dan Keluarga Sakinah karya Emha Ainun Najib, al-Hallaj karya Soleh Abdus Sobur, yang dipentaskan oleh Sanggar Salahuddin, Burdah dipentaskan oleh Teater Burdah, Abu Dzar al-Ghifari yang dipentaskan oleh Sanggar Nuun, juga Masjid Agung Hati Nurani karya Mathori A. Elwa yang dipentaskan oleh Sanggar Salahuddin dan Sanggar Nuun.
Sementara itu, Teater Eska yang konsisten mengusung ideologi Islamnya telah melakukan produksi 24 pertunjukan teater, diantaranya 4 pertunjukan dalam rangka FKY (Festival Kesenian Yogyakarta), yaitu Wahsyi pada tahun 1990, Saru Siku tahun 1995, Berdiri di Tengah Hujan tahun 1998, Kaki Langit tahun 1999, serta 2 pertunjukan sastra Dilarang Mencintai Bunga-Bunga dan Komposisi Busang pada FKY 1987, juga kurang lebih 20 pertunjukan pendek dalam rangka studi pentas ataupun memenuhi undangan partisipatif, 8 pertunjukan “Tadarus Puisi” (taterikalisasi puisi pada bulan Ramadhan), dan 7 pementasan musik kreatif (musik bertajuk)[iv].
Dari hampir seluruh pertunjukan yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok teater di kalangan orang Islam, tema-tema yang mereka usung adalah selain mengangkat kesejarahan tokoh-tokoh Islam, tema yang bernuansa dakwah, juga masalah yang menyangkut perkembangan sosial, ekonomi dan politik saat itu.
Tema-tema yang berkembang di teater di kalangan muslim tidak bisa lepas dengan perkembangan sejarah tema sastra drama di Indonesia. Misalnya, kita contohkan tema politik dalam pementasan Syekh Siti Jenar oleh Vredi Kastam Marta. Dalam drama ini, dihubungkan kekuasaan politik dengan kebenaran agama. Contoh tema kemiskinan, dalam drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noer, meninjau bahwa kemiskinan bukan hanya sebagai masalah sosial, tetapi sudah mencapai masalah moral dan bahkan berlanjut pada metafisik. Dramanya yang lain, yang berjudul Umang-Umang, telah membeberkan asal-usul kemiskinan rakyat kecil di kota-kota. Mereka sebenarnya penduduk desa yang damai, tetapi karena di desa kehidupan makin sulit, maka lari ke kota. Kota yang individualistis telah menyisihkan dan menyudutkan mereka menjadi kaum pencoleng untuk bertahan hidup. Moral mereka digerogoti. Maka lengkaplah kemiskinan kaum miskin ini, baik secara material maupun moral. Dan akhirnya mereka mempersoalkan kejahatan mereka secara spiritual[v].

HUKUM TEATER DALAM ISLAM
Menurut Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA[vi], doktor Ilmu Al-Quran dan Tafsir lulusan mam Muhammad ibn Saud Islamic University Arab Saudi, hukum seni peran ini menjadi bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Seni peran ini di mata sebagian kalangan dianggap terlarang dan melanggar beberapa ketentuan syariat.
Namun menurut sebagian ulama yang lain lagi, hukum seni peran tidak selalu harus haram, khususnya apabila beberapa ketentuan dan kriterianya bisa dipatuhi. Bahkan dalam beberapa hal, seni peran ini juga bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif, termasuk dalam pengajaran, sosialisasi, penerangan sampai kepada pesan-pesan dakwah dan moral.
Sejumlah nama ulama terkenal yang mengharamkan seni teater antara lain Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Nashiruddin Al Albani, Abdullah Al Ghumari, Ahmad Al Ghumari, Bakar Abu Zaid, Shalih Al Fauzan, sampai Hamud Tuwaijiri[vii].
Beberapa dasar (hujjah) dari ulama yang mengharamkan teater adalah

1. Seni Peran adalah Dusta
Dalam pandangan ulama yang mengharamkan seni peran, memerankan diri menjadi orang lain tidak dibenarkan dalam agama, karena orang lain yang diperankan itu belum tentu bersedia atau menerima. Dan belum tentu penggambaran tentang tokoh yang diperankan itu, betul-betul terjadi secara sesungguhnya.
Selain itu, umumnya para pemeran di dalam teater, drama, atau film, seringkali bermake-up tertentu, atau berkostum tertentu, yang tidak sesuai dengan perilaku dirinya yang sesungguhnya. Maka kostum dan make-up itu tidak lain hanyalah kepura-puraan belaka. Dan berpura-pura itu adalah dusta.
Karena dusta di dalam seni peran itu adalah dusta yang diketahui semua orang, dimana semua orang tidak merasa dirugikan sedikit pun dengan dusta itu. Semua penonton tahu bahwa seorang aktor memang sedang memerankan suatu karakter tertentu, dimana dia hanya berpura-pura saja, yang kepura-puraannya itu sama dimengerti dan dipahami oleh semua orang.
Di dalam seni peran, seorang aktor ditantang untuk bisa memerankan apa saja, termasuk memerangkan tokoh yang berlawan jenisnya dari dirinya sendiri. Seorang laki-laki ditantang untuk bisa memerankan tokoh perempuan, dan sebaliknya seorang perempuan ditantang untuk memerankan tokoh laki-laki.
Dan kedua jenis pemeranan itu nyata-nyata haram, meski pun hanya pura-pura. Justru yang diharamkan dalam hal ini kepura-puraannya. Di syariat Islam, prinsipnya tidak boleh terjadi saling meniru sehingga terjadi tasyabbuh (penyerupaan) antara dua jenis kelamin.

Rasulullah SAW melaknat para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki. (HR. Bukhari)

Jadi pada hakikatnya yang diharamkan bukan hanya terbatas pakaian saja, tetapi segala hal yang terkait dengan penampilan, baik tata rias, asesoris pakaian, termasuk juga gerak-gerik dan bahasa tubuh.
Sedangkan, beberapa Hadis Rosullullah juga menguatkan bolehnya aktivitas teater, khususnya Teknik akting, diantaranya adalah

Suatu hari Nabi SAW mendatangi Zahir yang sedang menjual dagangannya. Lalu beliau memeluk Zahir dari belakang. Zahir berkata,’Lepaskan aku, siapa ini?’ Lalu Zahir menengok ke belakang. Maka tahulah Zahir ternyata itu Nabi SAW. Begitu tahu, Zahir lalu melekatkan punggungnya dengan erat ke dada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW berkata,’Siapa yang mau membeli budak ini?’ Zahir berkata,’Wahai Rasulullah, demi Allah, jadi aku ini menurutmu barang murah?’ Nabi SAW menjawab, ‘Tapi Engkau di sisi Allah bukan barang murah. Engkau di sisi Allah adalah barang mahal.’ (HR Ahmad [III/161], at-Tirmidzi dalam asy-Syamil [229], al-Baghawi dalam Syarh Sunnah [3604])

Hadis riwayat Umar bin Khaththab RA bahwa pernah malaikat Jibril AS mendatangi Nabi SAW dalam rupa seorang laki-laki yang berpakaian amat putih dan berambut amat hitam, menanyakan kepada Nabi SAW seputar iman, Islam, Ihsan, dan tanda-tanda Hari Kiamat (HR Bukhari).

“Aku melihat seakan-akan Nabi SAW ketika mengisahkan seorang nabi dari nabi-nabi yang dipukul oleh kaumnya lalu keluar darahnya, sedang mengusap darah dari wajahnya, seraya berkata,”Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka sesungguhnya tidak tahu.” (HR Bukhari).

2. Meniru Tokoh Kafir dan Pendosa
Menurut mereka yang mengharamkan seni peran, bila ada seorang muslim memerankan tokoh kafir, lalu tokoh mengucapkan hal-hal yang mungkar, atau memperagakan aktifitas yang mungkar seperti minum khamar, berjudi, berkata yang kotor dan keji, bahkan kadang mengucapkan kata-kata yang mengadung penghinaan, cacian, makian atau hujatan kepada Islam, maka meski semua itu hanya pura-pura dan main-main, tetap saja diharamkan.
Apalagi bila pemain itu pasangan suami istri, yang di dalam adegan itu mereka berpura-pura bercerai, dimana suami pura-pura menjatuhkan talak, maka secara hukum syariah, meski judulnya hanya sandiwara dan pura-pura, tetapi hukumnya tetap berlaku. Talaknya tetap jatuh, walau pun hanya ucapan main-main di dalam lakon sebuah film.
Urusan meniru peran orang kafir yang bertingkah menghina dan mengejek agama Islam, atau melakukan adegan yang terlarang seperti pura-pura mabuk, atau melakukan adegan-adegan yang tidak sesuai dengan akhlaq dan pribadi seorang muslim, memang oleh para ulama banyak diharamkan, walau pun judulnya hanya pura-pura saja.
Memang masalah ini agak rumit, karena kepura-puraan itu seharusnya berbeda jauh dengan aslinya. Maksudnya, orang yang berpura-pura mabuk tentu sama sekali tidak bisa dibilang dia mabuk. Dan orang yang pura-pura menjadi tokoh non muslim seharusnya juga tidak boleh dikatakan dia telah menjadi kafir. Toh semua itu akting belaka, semua orang tahu hal itu.
Akan tetapi bagaimana bila adegan seperti itu dilakukan bukan sebuah kepura-puraan?
Misalnya, peran sebagai tokoh orang kafir itu memang benar-benar dimainkan oleh orang kafir sungguhan. Adegan mabuk yang seandainya tidak boleh dimainkan oleh seorang muslim, dimainkan oleh orang kafir yang mana mereka tidak dilarang minum khamar dan mabuk.

3. Sering Meninggalkan Shalat dan Kewajiban
Aktifitas dan kehidupan para aktor dan orang-orang teater serta orang-orang film agak berbeda dengan jadwal kerja yang umumnya dilakukan orang. Sebab sebuah produksi baik pementasan atau pun pembuatan film, biasanya memakan waktu yang panjang dan lama.
Dan oleh karena itu rawan terjadi biasanya orang-orang yang aktif di teater atau pembuatan film, seringkali meninggalkan shalat wajib lima waktu, karena terlalu asik dan sibuk dengan kegiatannya. Dan hal itu adalah sebuah dosa besar yang merupakan kemunkaran.
Para penontonnya pun seringkali lupa waktu ketika menonton, dan sampai meninggalkan shalat juga.

4. Seni Akting Buatan Orang Kafir
Asal muasal seni peran atau akting ini bukan milik kebudayaan Islam, sehingga sampai hari ini kita tidak menemukan umat Islam memiliki tokoh yang senior di bidang ilmu akting ini. Sejatinya ilmu atau seni peran itu sepanjang zaman dianggap bukan hasil produk dari peradaban Islam, tetapi dari berakar dari kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa yang nota bene bukan Islam.
Dan sampai hari ini seni akting itu pun lebih berkembang di Barat ketimbang di negeri-negeri Islam. Panggung teater dan produksi film di dunia didominasi oleh negara-negara non-muslim.
Sehingga seni peran itu boleh dibilang berciri khas sesuatu yang bukan milik bangsa muslim. Dan bila kita mengembangkannya, artinya sama saja kita menyerupai suatu kaum yang bukan pemeluk Islam.

5. Membuka Aurat & Campur-baur Laki dengan Wanita
Mereka yang mengharamkan seni peran mengatakan bahwa dalam aktifitas teater atau produksi film, sulit dihindari adegan yang membuka aurat, baik laki-laki mau pun perempuan. Padahal haram hukumnya seorang perempuan muslimah tampil di panggung dengan aurat terbuka, sementara dia memerankan karakter wanita kafir yang biasanya tampil tidak menutup auratnya.
Di dunia film malah lebih parah lagi, nyaris hampir tidak pernah ada produksi film yang tidak menampilkan adegan seks yang bukan suami istri, baik di dalam film itu atau pun di luar film. Maksudnya, karakter yang mereka mainkan di dalam film itu melakukan hubungan seksual padahal di dalam cerita itu mereka bukan pasangan yang halal. Dan di luar film pun mereka juga bukan suami istri.
Kalau pun di dalam film mereka memerankan tokoh suami istri, dan di luar film mereka betul-betul pasangan suami istri yang sah, tetap saja haram. Sebab adegan seks antara suami istri haram dilakukan di tempat terbuka, apalagi di atas penggung atau di layar film. Suami istri hanya boleh melakukan hal itu di dalam tempat yang tertutup tanpa ada seorang pun yang bisa melihatnya.

Beberapa nama ulama seperti Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Ibnu Jibrin, Ibnu Humaid, Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan Yusuf Qaradhaw membolehkan seni teater dengan persyaratan yang musti dipenuhi. Persyaratan tersebut antara lain, tidak ada sentuhan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim. Syarat selanjutnya, tak ada laki-laki yang menyerupai perempuan, begitu juga sebaliknya. Jadi, nggak ada cerita ada peran transgender di dalam drama. Syarat selanjutnya, tidak boleh ada gambar makhluk bernyawa [vii].
Namun seni drama tak berarti boleh secara mutlak. Syeikh Ziyad Ghazzal menjelaskan seni drama dibolehkan dengan 5 (lima) syarat

1. Tidak adanya ikhtilath (berkumpul) antara laki-laki dan perempuan.
2. Tidak adanya laki-laki menyerupai perempuan atau sebaliknya.
3. Tidak memerankan para malaikat, para nabi, para khulafa rasyidin, istri-istri Nabi SAW, dan Maryam ibunda Nabi Isa AS.
4. Tidak membuat atau menggambar makhluk bernyawa.
5. Tidak menggambarkan kejadian gaib seperti Hari Kiamat, surga, neraka, dan alam kubur.

Ekwan Wiratno
Malang, 12 Mei 2019




[i] Kusumawati, Aning Ayu. 2009. Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam Di Indonesia. Adabiyyāt 8(2): 373-386.
[ii] Salad, Hamdy. 2000. Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Cet. Ke-1. Yogyakarta: Yayasan Semesta.
[iii] Aziz, M. Imam et al. 2001. Seni (dan) Kritik dari Pesantren, Yogyakarta: LKPSM-FKI.
[iv] Noer, Arifin C. et al. 2000. Ideologi Teater Modern Kita. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli.
[v] Sumardjo, Jakob. 1989. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: C & A.
[vi] http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1359319329
[vii] https://www.pojokseni.com/2018/06/apa-hukum-seni-teater-menurut-islam.html

Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu