SEJARAH TEATER DALAM PERDABAN ISLAM
Sejak
tahun 60-an, di kalangan seniman muslim muncul gagasan-gagasan tentang teater
Islam, seiring dengan munculnya perbincangan-perbincangan tentang sastra Islam.
Seminar-seminar tentang sastra Islam yang di dalamnya dibahas juga tentang
teater Islam beberapa kali diadakan dan buku-buku yang membahas sastra dan
teater Islam pun ditulis para pakar muslim[i].
Kemunculan
teater dalam tradisi Arab bermula dari munculnya pertunjukan teater tradisi. Pertunjukan
teater tradisi tersebut diantaranya adalah Khayal al-zil (bayangan imajinasi)
dan Ta'zieh (pertunjukan teater belasungkawa). Khayal al-zil merupakan
pertunjukan wayang tradisional dari Mesir dan diketahui telah ada sejak abad ke
10. Ide cerita yang diangkat oleh Khayal al-zil merupakan khasanah dan metafora
yang dalam tentang Islam serta pada umumnya disajikan selama bulan Ramadan. Kesenian
wayang ini pada abad ke 16 menyebar ke Turki dan mendapat perkembangan dengan
penambahan warna sehingga mendapatkan nama baru yaitu Karagoz.
Ta'zieh
diketahui berasal dari Iran sejak abad ke 17 dan mengisahkan mengenai tragedi
kematian Hussein, cucu Nabi Muhammad SAW, pada bulan Muharram. Ta'zieh awalnya
dipentaskan secara outdoor di tempat umum seperti alun-alun atau persimpangan
jalan. Pada perkembangannya, Ta'zieh umumnya dipentaskan pada suatu tempat
bernama takiyeh, yang memungkinkan penonton menyaksikan dari segala arah (dalam
Teknik panggung modern disebut panggung arena). Ta'zieh melibatkan beberapa
alat musik, yaitu drum, trompet, seruling dan sambal serta para pemainnya
(terutama tokoh protagonist) menyanyikan dialognya.
Teater
modern dalam dunia Arab, sebagai tempat awal kelahiran Islam, baru dikenal
sejak terjadi persentuhan Timur dan Barat yang menghantarkan dunia Arab dan
dunia Islam memasuki awal masa modern pada awal abad ke-19. Memasuki masa
kebangkitan di awal masa modern, dunia sastra dan seni budaya Arab mengalami
perubahan, termasuk dalam bidang teater. Yang pertama kali menekuni bidang
teater adalah para seniman Libanon, karena mereka mendapat kesempatan lebih dahulu
bergaul dengan orang-orang Eropa. Setelah itu barulah Mesir mengikuti apa yang
dilakukan oleh Libanon. Demikianlah drama masih begitu asing dalam khazanah
sastra Arab sampai pertengahan abad ke-19. Mereka mengenal drama melalui tontonan
dan pengalihbahasaan oleh kelompok para sastrawan yang belajar di Eropa,
terutama mereka yang pernah belajar di Prancis.
Seminar-seminar
berkenaan dengan sastra Islam, yang di dalamnya dibahas pula tentang teater
Islam, telah diadakan di India, Madinah, Riyad, dan Mesir. Para pakar yang
menulis buku berkenaan dengan seni dan sastra Islam, di antaranya, Syekh Abū
al-Hasan al-Nadawi, sebagai pencetus awal ketika beliau terpilih menjadi
anggota al-Majma’ al-‘Ilmi al-‘Arabi (Lembaga Ilmiah Arab) di Damaskus. Tulisan-tulisan
beliau merupakan penghantar kepada perumusan sastra Islam. Kemudian, disusul
oleh tulisan-tulisan Sayyid Qutb yang menyerukan sastra Islam yang spesifik.
Lalu, menyusul Muhammad Qutb dengan bukunya al-Fann al-Islami, Dr. Najib
el-Kilani dengan buku-bukunya: al-Islamiyah
wa al-Mazāhib al-Adabiyyah, Madkhal ilā al-Adab al-Islāmi dan Nahwa Masrah Islami. Selain itu. Dr.
Imaduddīn Khalil, salah seorang pionir gerakan Sastra Islam, dengan bukunya an-Naqd al-Islāmi al-Ma’āsir.
Dalam
sejarah kebudayaan Islam, kita bisa meneliti perkembangan teater, dimulai
ketika teater diperkenalkan di dunia Arab setelah penyerbuan dan penaklukan
Mesir oleh Napoleon pada tahun 1798. Teater kemudian mulai dipersembahkan
dengan cerita masyarakat Arab-Islam, biasanya berisi kisah-kisah keagungan
dinasti Islam. Pada tahun 1849, Maran al-Naqqas mengangkat epik Seribu Satu
Malam ke pentas teater. Kumpulan teater al-Naqqas ini mengangkat kisah Khalifah
Harun al-Rasyīd bersama wazirnya, Ja’far, menjadi sebuah pementasan klasik yang
amat bagus.
TEATER DALAM PERADABAN ISLAM INDONESIA
Melacak
teater dalam kalangan umat Islam Indonesia dapat dimulai dari catatan tentang
munculnya himpunan-himpunan seni budaya dalam kalangan umat Islam Indonesia
pascapemilu 1955, yang membangun struktur budaya sebagai wacana tandingan untuk
membendung pengaruh LEKRA (Lembaga Kesenian Rakyat) yang didirikan Partai
Komunis Indonesia (PKI) tahun 1950. Pada tahun 1956, berdirilah Himpunan Seni
Budaya Islam (HSBI) yang kemudian pada tahun 1961 membentuk Majelis Seniman Budayawan
Islam (MASBI) yang banyak memunculkan pertunjukan-pertunjukan teaternya, baik
melalui panggung, radio maupun televisi. Menurut Hamdy Salad[ii],
sampai tahun 1986, HSBI telah memproduksi 510 drama radio, 306 drama panggung,
dan 180 drama televisi. Organisasi-organisasi Islam pun tidak ketinggalan
membentuk lembaga-lembaga kesenian, seperti LESBUMI (Nahdlatul Ulama), ISBM (Muhammadiyah),
LESKI (Perti) dan LESBRA (al-Washliyah).
Dari
sebuah teks seni yang disebut shalawat atau al-Barzanji (pujian kepada Nabi
Muhammad Saw.) saja, telah memunculkan bentuk-bentuk seni pertunjukan yang
berbeda-beda dalam setiap wilayah. Perubahan teks-teks tersebut antara lain
dapat dikenali melalui bentuk-bentuk kesenian rakyat yang disebut: “Slawatan Mulud”,
“Slawatan Laras Madya”, “Mocopat”, “Slawatan Montro” (wilayah Kota Jogja dan
Bantul); “Slawatan Jawi” (Gunung Kidul); “ “Slawatan Mondreng”, “Kojanan”,
‘Rodad”, “Emprak”, “Kuntulan”, Trenggonan, “Peksimoi”, “Ndolalak”, “Badui” ,
Kubrosiswa” (Sleman); dan “Angguk” (Kulon Progo) serta “Kasidahan” atau
“Samroh” yang muncul hampir dalam semua wilayah. Pada awal dekade 60-an, muncul
gerakan pembaruan dalam dunia teater Islam dengan lahirnya Teater Muslim di
Yogyakarta yang kelahirannya dibidani oleh Muhammad Diponegoro pada tahun 1963
dengan drama terkenalnya berjudul “Iblis”. Menyusul kemudian pada dekade-dekade
selanjutnya, kelompok-kelompok teater independen, baik di lingkungan pesantren,
perguruan tinggi maupun lembaga keagamaan yang dimotori oleh generasi muda
Islam[iii].
Di
Yogyakarta, bermunculan teater yang mengusung ideologi Islam yang lahir dari
lingkungan kampus, yaitu sanggar Salahuddin (UGM), Teater ESKA (UIN Sunan
Kalijaga), Sanggar Cordoba (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Dakwah), dan kelompok teater
yang tergolong bontot, Sanggar NUUN (UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Adab). Ada
satu grup teater yang munculnya dari kalangan pesantren yaitu Sanggar Sunan.
Kelompok-kelompok
tersebut telah menghasilkan banyak karya pertunjukan, misalnya Lautan Jilbab dan Keluarga Sakinah karya Emha Ainun Najib, al-Hallaj karya Soleh Abdus Sobur, yang dipentaskan oleh Sanggar
Salahuddin, Burdah dipentaskan oleh Teater
Burdah, Abu Dzar al-Ghifari yang dipentaskan
oleh Sanggar Nuun, juga Masjid Agung Hati
Nurani karya Mathori A. Elwa yang dipentaskan oleh Sanggar Salahuddin dan
Sanggar Nuun.
Sementara
itu, Teater Eska yang konsisten mengusung ideologi Islamnya telah melakukan
produksi 24 pertunjukan teater, diantaranya 4 pertunjukan dalam rangka FKY
(Festival Kesenian Yogyakarta), yaitu Wahsyi
pada tahun 1990, Saru Siku tahun
1995, Berdiri di Tengah Hujan tahun
1998, Kaki Langit tahun 1999, serta 2
pertunjukan sastra Dilarang Mencintai
Bunga-Bunga dan Komposisi Busang
pada FKY 1987, juga kurang lebih 20 pertunjukan pendek dalam rangka studi
pentas ataupun memenuhi undangan partisipatif, 8 pertunjukan “Tadarus Puisi”
(taterikalisasi puisi pada bulan Ramadhan), dan 7 pementasan musik kreatif
(musik bertajuk)[iv].
Dari
hampir seluruh pertunjukan yang dipentaskan oleh kelompok-kelompok teater di
kalangan orang Islam, tema-tema yang mereka usung adalah selain mengangkat
kesejarahan tokoh-tokoh Islam, tema yang bernuansa dakwah, juga masalah yang menyangkut
perkembangan sosial, ekonomi dan politik saat itu.
Tema-tema
yang berkembang di teater di kalangan muslim tidak bisa lepas dengan
perkembangan sejarah tema sastra drama di Indonesia. Misalnya, kita contohkan
tema politik dalam pementasan Syekh Siti
Jenar oleh Vredi Kastam Marta. Dalam drama ini, dihubungkan kekuasaan
politik dengan kebenaran agama. Contoh tema kemiskinan, dalam drama Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C Noer,
meninjau bahwa kemiskinan bukan hanya sebagai masalah sosial, tetapi sudah
mencapai masalah moral dan bahkan berlanjut pada metafisik. Dramanya yang lain,
yang berjudul Umang-Umang, telah
membeberkan asal-usul kemiskinan rakyat kecil di kota-kota. Mereka sebenarnya penduduk
desa yang damai, tetapi karena di desa kehidupan makin sulit, maka lari ke
kota. Kota yang individualistis telah menyisihkan dan menyudutkan mereka
menjadi kaum pencoleng untuk bertahan hidup. Moral mereka digerogoti. Maka lengkaplah
kemiskinan kaum miskin ini, baik secara material maupun moral. Dan akhirnya
mereka mempersoalkan kejahatan mereka secara spiritual[v].
HUKUM TEATER DALAM ISLAM
Menurut
Dr. Ahmad Sarwat, Lc., MA[vi],
doktor Ilmu Al-Quran dan Tafsir lulusan mam Muhammad ibn Saud Islamic
University Arab Saudi, hukum seni peran ini menjadi bahan perbedaan pendapat di
antara para ulama. Seni peran ini di mata sebagian kalangan dianggap terlarang
dan melanggar beberapa ketentuan syariat.
Namun
menurut sebagian ulama yang lain lagi, hukum seni peran tidak selalu harus
haram, khususnya apabila beberapa ketentuan dan kriterianya bisa dipatuhi.
Bahkan dalam beberapa hal, seni peran ini juga bisa dimanfaatkan untuk hal-hal
yang positif, termasuk dalam pengajaran, sosialisasi, penerangan sampai kepada
pesan-pesan dakwah dan moral.
Sejumlah
nama ulama terkenal yang mengharamkan seni teater antara lain Syeikh Abdul Aziz
bin Baz, Nashiruddin Al Albani, Abdullah Al Ghumari, Ahmad Al Ghumari, Bakar
Abu Zaid, Shalih Al Fauzan, sampai Hamud Tuwaijiri[vii].
Beberapa
dasar (hujjah) dari ulama yang mengharamkan teater adalah
1. Seni Peran adalah Dusta
Dalam pandangan ulama yang mengharamkan seni peran,
memerankan diri menjadi orang lain tidak dibenarkan dalam agama, karena orang
lain yang diperankan itu belum tentu bersedia atau menerima. Dan belum tentu
penggambaran tentang tokoh yang diperankan itu, betul-betul terjadi secara
sesungguhnya.
Selain itu, umumnya para pemeran di dalam teater, drama,
atau film, seringkali bermake-up tertentu, atau berkostum tertentu, yang tidak sesuai
dengan perilaku dirinya yang sesungguhnya. Maka kostum dan make-up itu tidak
lain hanyalah kepura-puraan belaka. Dan berpura-pura itu adalah dusta.
Karena dusta di dalam seni peran itu adalah dusta yang
diketahui semua orang, dimana semua orang tidak merasa dirugikan sedikit pun
dengan dusta itu. Semua penonton tahu bahwa seorang aktor memang sedang
memerankan suatu karakter tertentu, dimana dia hanya berpura-pura saja, yang
kepura-puraannya itu sama dimengerti dan dipahami oleh semua orang.
Di dalam seni peran, seorang aktor ditantang untuk bisa
memerankan apa saja, termasuk memerangkan tokoh yang berlawan jenisnya dari
dirinya sendiri. Seorang laki-laki ditantang untuk bisa memerankan tokoh
perempuan, dan sebaliknya seorang perempuan ditantang untuk memerankan tokoh
laki-laki.
Dan kedua jenis pemeranan itu nyata-nyata haram, meski pun
hanya pura-pura. Justru yang diharamkan dalam hal ini kepura-puraannya. Di
syariat Islam, prinsipnya tidak boleh terjadi saling meniru sehingga terjadi
tasyabbuh (penyerupaan) antara dua jenis kelamin.
Rasulullah SAW melaknat
para laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai
laki-laki. (HR. Bukhari)
Jadi pada hakikatnya yang diharamkan bukan hanya terbatas
pakaian saja, tetapi segala hal yang terkait dengan penampilan, baik tata rias,
asesoris pakaian, termasuk juga gerak-gerik dan bahasa tubuh.
Sedangkan, beberapa Hadis Rosullullah juga menguatkan
bolehnya aktivitas teater, khususnya Teknik akting, diantaranya adalah
Suatu hari Nabi SAW
mendatangi Zahir yang sedang menjual dagangannya. Lalu beliau memeluk Zahir
dari belakang. Zahir berkata,’Lepaskan aku, siapa ini?’ Lalu Zahir menengok ke
belakang. Maka tahulah Zahir ternyata itu Nabi SAW. Begitu tahu, Zahir lalu melekatkan
punggungnya dengan erat ke dada Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW berkata,’Siapa yang
mau membeli budak ini?’ Zahir berkata,’Wahai Rasulullah, demi Allah, jadi aku
ini menurutmu barang murah?’ Nabi SAW menjawab, ‘Tapi Engkau di sisi Allah
bukan barang murah. Engkau di sisi Allah adalah barang mahal.’ (HR Ahmad [III/161],
at-Tirmidzi dalam asy-Syamil [229], al-Baghawi dalam Syarh Sunnah [3604])
Hadis riwayat Umar bin
Khaththab RA bahwa pernah malaikat Jibril AS mendatangi Nabi SAW dalam rupa
seorang laki-laki yang berpakaian amat putih dan berambut amat hitam,
menanyakan kepada Nabi SAW seputar iman, Islam, Ihsan, dan tanda-tanda Hari
Kiamat (HR Bukhari).
“Aku melihat
seakan-akan Nabi SAW ketika mengisahkan seorang nabi dari nabi-nabi yang
dipukul oleh kaumnya lalu keluar darahnya, sedang mengusap darah dari wajahnya,
seraya berkata,”Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka sesungguhnya tidak
tahu.” (HR Bukhari).
2. Meniru Tokoh Kafir dan Pendosa
Menurut mereka yang mengharamkan seni peran, bila ada seorang
muslim memerankan tokoh kafir, lalu tokoh mengucapkan hal-hal yang mungkar,
atau memperagakan aktifitas yang mungkar seperti minum khamar, berjudi, berkata
yang kotor dan keji, bahkan kadang mengucapkan kata-kata yang mengadung
penghinaan, cacian, makian atau hujatan kepada Islam, maka meski semua itu
hanya pura-pura dan main-main, tetap saja diharamkan.
Apalagi bila pemain itu pasangan suami istri, yang di dalam
adegan itu mereka berpura-pura bercerai, dimana suami pura-pura menjatuhkan
talak, maka secara hukum syariah, meski judulnya hanya sandiwara dan pura-pura,
tetapi hukumnya tetap berlaku. Talaknya tetap jatuh, walau pun hanya ucapan
main-main di dalam lakon sebuah film.
Urusan meniru peran orang kafir yang bertingkah menghina
dan mengejek agama Islam, atau melakukan adegan yang terlarang seperti
pura-pura mabuk, atau melakukan adegan-adegan yang tidak sesuai dengan akhlaq
dan pribadi seorang muslim, memang oleh para ulama banyak diharamkan, walau pun
judulnya hanya pura-pura saja.
Memang masalah ini agak rumit, karena kepura-puraan itu
seharusnya berbeda jauh dengan aslinya. Maksudnya, orang yang berpura-pura
mabuk tentu sama sekali tidak bisa dibilang dia mabuk. Dan orang yang pura-pura
menjadi tokoh non muslim seharusnya juga tidak boleh dikatakan dia telah
menjadi kafir. Toh semua itu akting belaka, semua orang tahu hal itu.
Akan tetapi bagaimana bila adegan seperti itu dilakukan
bukan sebuah kepura-puraan?
Misalnya, peran sebagai tokoh orang kafir itu memang
benar-benar dimainkan oleh orang kafir sungguhan. Adegan mabuk yang seandainya
tidak boleh dimainkan oleh seorang muslim, dimainkan oleh orang kafir yang mana
mereka tidak dilarang minum khamar dan mabuk.
3. Sering Meninggalkan Shalat dan Kewajiban
Aktifitas dan kehidupan para aktor dan orang-orang teater
serta orang-orang film agak berbeda dengan jadwal kerja yang umumnya dilakukan
orang. Sebab sebuah produksi baik pementasan atau pun pembuatan film, biasanya
memakan waktu yang panjang dan lama.
Dan oleh karena itu rawan terjadi biasanya orang-orang yang
aktif di teater atau pembuatan film, seringkali meninggalkan shalat wajib lima
waktu, karena terlalu asik dan sibuk dengan kegiatannya. Dan hal itu adalah
sebuah dosa besar yang merupakan kemunkaran.
Para penontonnya pun seringkali lupa waktu ketika menonton,
dan sampai meninggalkan shalat juga.
4. Seni Akting Buatan Orang Kafir
Asal muasal seni peran atau akting ini bukan milik
kebudayaan Islam, sehingga sampai hari ini kita tidak menemukan umat Islam
memiliki tokoh yang senior di bidang ilmu akting ini. Sejatinya ilmu atau seni
peran itu sepanjang zaman dianggap bukan hasil produk dari peradaban Islam,
tetapi dari berakar dari kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa yang nota bene bukan
Islam.
Dan sampai hari ini seni akting itu pun lebih berkembang di
Barat ketimbang di negeri-negeri Islam. Panggung teater dan produksi film di
dunia didominasi oleh negara-negara non-muslim.
Sehingga seni peran itu boleh dibilang berciri khas sesuatu
yang bukan milik bangsa muslim. Dan bila kita mengembangkannya, artinya sama
saja kita menyerupai suatu kaum yang bukan pemeluk Islam.
5. Membuka Aurat & Campur-baur Laki dengan Wanita
Mereka yang mengharamkan seni peran mengatakan bahwa dalam
aktifitas teater atau produksi film, sulit dihindari adegan yang membuka aurat,
baik laki-laki mau pun perempuan. Padahal haram hukumnya seorang perempuan
muslimah tampil di panggung dengan aurat terbuka, sementara dia memerankan
karakter wanita kafir yang biasanya tampil tidak menutup auratnya.
Di dunia film malah lebih parah lagi, nyaris hampir tidak
pernah ada produksi film yang tidak menampilkan adegan seks yang bukan suami
istri, baik di dalam film itu atau pun di luar film. Maksudnya, karakter yang
mereka mainkan di dalam film itu melakukan hubungan seksual padahal di dalam
cerita itu mereka bukan pasangan yang halal. Dan di luar film pun mereka juga
bukan suami istri.
Kalau pun di dalam film mereka memerankan tokoh suami
istri, dan di luar film mereka betul-betul pasangan suami istri yang sah, tetap
saja haram. Sebab adegan seks antara suami istri haram dilakukan di tempat
terbuka, apalagi di atas penggung atau di layar film. Suami istri hanya boleh
melakukan hal itu di dalam tempat yang tertutup tanpa ada seorang pun yang bisa
melihatnya.
Beberapa
nama ulama seperti Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Ibnu Jibrin, Ibnu Humaid,
Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan Yusuf Qaradhaw membolehkan seni teater dengan
persyaratan yang musti dipenuhi. Persyaratan tersebut antara lain, tidak ada
sentuhan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim. Syarat selanjutnya, tak
ada laki-laki yang menyerupai perempuan, begitu juga sebaliknya. Jadi, nggak
ada cerita ada peran transgender di dalam drama. Syarat selanjutnya, tidak
boleh ada gambar makhluk bernyawa [vii].
Namun
seni drama tak berarti boleh secara mutlak. Syeikh Ziyad Ghazzal menjelaskan
seni drama dibolehkan dengan 5 (lima) syarat
1. Tidak adanya ikhtilath (berkumpul)
antara laki-laki dan perempuan.
2. Tidak adanya laki-laki menyerupai
perempuan atau sebaliknya.
3. Tidak memerankan para malaikat, para
nabi, para khulafa rasyidin, istri-istri Nabi SAW, dan Maryam ibunda Nabi Isa
AS.
4. Tidak membuat atau menggambar makhluk
bernyawa.
5. Tidak menggambarkan kejadian gaib
seperti Hari Kiamat, surga, neraka, dan alam kubur.
Ekwan Wiratno
Malang, 12 Mei 2019
[i] Kusumawati, Aning Ayu.
2009. Menengok Seni Teater/Drama Umat Islam Di Indonesia. Adabiyyāt 8(2):
373-386.
[ii] Salad, Hamdy. 2000. Agama
Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Cet. Ke-1. Yogyakarta: Yayasan
Semesta.
[iii] Aziz, M. Imam et al. 2001.
Seni (dan) Kritik dari Pesantren, Yogyakarta: LKPSM-FKI.
[iv] Noer, Arifin C. et al.
2000. Ideologi Teater Modern Kita. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli.
[v] Sumardjo, Jakob. 1989.
Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: C & A.
[vi]
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1359319329
[vii]
https://www.pojokseni.com/2018/06/apa-hukum-seni-teater-menurut-islam.html
Comments
Post a Comment