Skip to main content

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama.

Setidaknya begitulah yang saya rasakan.


Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye.


MOTINGGO BUSYE DAN TEATER

Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy.
Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti kegiatan teater bersama Kidjomuljo, Nasjah Djamin, Subagio Sastrowardoyo, dan Rendra. Sampai pada tahun 1959 naskah Malam Jahanam terpilih sebagai karya terbaik dalam lomba Sayembara Penulisan Drama Kementrian P.P. dan K. (Kementrian Pendidikan Pengajar¬an dan Kebudayaan). 

BARABAH

Naskah Barabah yang dipentaskan oleh Teater Dii merupakan saduran dari novel Motinggo Busye yang berjudul Perempuan itu Bernama Barabah yang diterbitkan pada tahun 1963. Naskah Barabah berkisah seputar persoalan rumah tangga seorang Barabah dengan suaminya yang usianya terpaut cukup jauh. Kecemburuan menggelayut dalam rumah tangga mereka selepas kehadiran seorang perempuan muda. Kisah ini dibumbui dengan munculnya tokoh anak muda yang memberikan ruang segar dalam kemelut keluarga itu. 
Sebenarnya, Barabah adalah potret perempuan pada umumnya. Tidak ada yang begitu spesial.

PANDANGAN PERTAMA
Sebagai sebuah kelompok teater yang dapat dikatakan baru di Malang, Teater Dii mampu memberikan harapan besar. Pertunjukan Barabah malam itu cukup menonjol apabila dibandingkan dengan pentas-pentas teater realis serupa. 
Pada pandangan pertama ini penonton disuguhi oleh konsistensi keaktoran. Aktor-aktor menjalankan perannya sepanjang lebih dari satu jam dengan stamina yang cukup bagus. Konsistensi suara yang digunakan tokoh Banio cukup memberikan gambaran usia, meskipun pada beberapa titik terlihat agak lepas kembali ke suara asal aktor. Hal ini juga dikuatkan oleh gestur yang terjaga. Sebagai tokoh utama, Barabah juga cukup konsisten. Emosi-emosi yang meletup dalam adegan cemburu juga masih dalam takaran yang cukup, tidak berlebihan seperti banyak pertunjukan lain. Kemunculan tokoh Zaitun cukup memberikan warna yang berbeda dari adegan sebelumnya. Hal yang sama juga mampu dicapai oleh kemunculan tokoh Adibul. Kemunculannya di tengah pertunjukan memberikan nuansa yang ceria dan berkali-kali membuat penonton tertawa. 


Memang, kemunculan suatu tokoh selayaknya harus mampu membawa perubahan suasana dan meningkatkan kerumitan sebuah cerita. Kalau tidak, maka keberadaannya sia-sia belaka.

Perubahan ruang juga dilakukan dengan cukup menarik. Pergeseran aktor dari ruang tengah menuju ruang tamu atau sebaliknya diikuti oleh perubahan lampu. Cahaya mengikuti aktor. Hal ini tentu sangat membantu fokus dalam menonton. Penonton tidak perlu menyaksikan setting lain yang tidak digunakan. 

Penggunaan properti relatif sederhana tetapi mampu memberikan gambaran yang jelas pada orientasi ruang. Properti juga terbukti tidak menenggelamkan aktor dalam kemegahannya. Dengan properti yang sederhana, aktor mampu lebih leluasa mengeksplor ruang dan menonjolkan dirinya.
Sehingga tidak berlebihan bila dalam tatapan pertama ini, saya mendapatkan cinta dan harapan. Pertama, jelas bertambahnya jumlah teater yang ada di Malang maka akan semakin menyemarakkan kegiatan teater, terutama pementasan teater. Kedua, Teater Dii mampu memberikan pementasan pertama yang menjanjikan. Persoalannya hanya tinggal konsistensi karya.



(dok. Teater Dii)

GANGGUAN PANDANGAN

Tentu saja, selalu ada gangguan dalam cinta. Ada soal-soal yang rasanya cukup menghambat totalitas dalam menikmati pertunjukan Barabah. Misalnya, penggunaan tata dan jumlah lampu yang terbatas membuat adegan tidak sepenuhnya mampu diterima oleh penonton. Dalam beberapa titik, wajah dan tubuh aktor tidak terlihat dengan jelas. Rasanya persoalan ini cukup diselesaikan dengan menambah jumlah lampu.
Tapi ada persoalan artistik setelahnya, yaitu warna lampu seringkali tidak memberikan gambaran suasana yang sesuai. Misalnya, lampu hijau di jendela tidak cukup menggambarkan dua suasana adegan yang berbeda yang menggunakan spot itu. Belum lagi, dimensi aktor tidak mampu dimaksimalkan karena kurangnya sudut lampu lain selain dari depan panggung. Dengan penambahan dimensi cahaya, maka diharapkan akan memaksimalkan penyampaian gestur, ekspresi dan emosi.
Musik juga tidak mampu memberikan dukungan yang intens pada adegan. Seringkali musik hanya menjadi pengiring adegan. Ini sangat merugikan mengingat pertunjukan naskah drama semacam ini memerlukan dukungan dalam mewujudkan emosi sehingga dapat ditangkap secara maksimal oleh penonton.

Tapi, terlepas dari soal-soal teknis di atas, saya tetap jatuh cinta dengan Teater Dii. Semoga pada pandangan-pandangan berikutnya, cinta ini masih tetap ada.


Ekwan Wiratno Malang, 29 April 2019

Comments

  1. Permasalahan teknis, utamanya dalam hal artistik, semacam tata cahaya ataupun tata panggung, itu menjadi masalah klasik dalam dunia perteateran di Malang. Apabila tidak disikapi secara cerdas, hanya akan memunculkan jebakan baru. Namun, terkadang hal semacam itu dipandang remeh sehingga suatu pertunjukan yang seharusnya bisa lebih menarik hanya akan memunculkan suatu cerita yang kurang memiliki daya tarik. Jika hal tersebut berlangsung lama maka dunia pertunjukan teater pun akan semakin tenggelam. Pernah, seorang guru menyampaikan bahwa untuk mewujudkan suatu pertunjukan yang baik dan indah harus memperhatikan dan mempertimbangkan 3 hal, yaitu etika, estetika, dan artistik.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu