Tirai disibak, lampu berbagi nyala,
sang badut gagu muncul dari kegelapan, bicara terbata dan berjatuh-jatuh ria, gelak
tawa menggema, isi kepala tak ada.
Setidaknya begitulah potret teater Malang hari ini. Sebagian besar—bila
tidak mau dikatakan hampir semua—teater di Malang terjebak pada dua persoalan:
badut dan gagu. Sebagian dari mereka sekuat tenaga menjadi badut, mengais-ngais
lelucon, menyiapkan teknik jatuh yang konyol dan riasan aneka warna. Sebagian lagi
berapi-api dalam benak, tapi gagu.
Akhir-akhir ini mudah sekali ditemukan sebuah pertunjukan
yang digelar tanpa motivasi dan pendalaman substansi yang meyakinkan. Pertunjukan-pertunjukan
digelar dari referensi naskah yang sangat minim dan seringkali ditujukan hanya
untuk perwujudan eksistensi kelompok. Tujuan yang amat sempit.
Upaya latihan berpuluh kali itu hanya dimaksudkan untuk
memanggungkan teks dramatik. Ibarat sebuah projector yang menampilkan citra computer/laptop
apa adanya. Projector yang tidak menghabiskan energi listrik tapi hanya berfungsi
sebagai sarana, tidak lebih. Seniman-seniman projector ini semakin banyak
saja jumlahnya.
Proses pemilihan naskah tidak dilakukan secara selektif berdasarkan
ide, kegelisahan, isu terkini, isu penting dan pertimbangan lain yang lebih
dalam. Pemilihan naskah umumnya didasarkan hanya pada jumlah pemain dan durasi
penggarapan/pertunjukan. Sekali lagi, proses seniman projector macam ini
sungguh memperihatinkan.
Meminjam foto pertunjukan “Slava’s Snowshow” sebagai ilustrasi
Kembali pada persoalan badut, kita juga menemui banyak sekali
seniman yang menggantungkan seluruh proses penggarapan pertunjukan teater pada
upaya menghibur diri dan penontonnya. Tentu saja hiburan dalam konteks yang
sangat sempit. Hiburan di sini bukan hanya berkaitan pada humor, tapi juga pada
drama sinetronik dan bentuk dangkal lain. Penonton dianggap hanyalah sekelompok
orang bodoh yang hanya mampu mencerna urusan remeh-temeh. Bahwa mereka adalah
orang yang dipenuhi stress yang hanya menonton teater untuk kebutuhan hiburan.
Upaya menjadi badut ini tentu saja adalah sebuah pilihan,
tetapi alangkah menyenangkan bila ditambah upaya lain yang lebih berarti. Sebab,
upaya mencerdaskan penonton juga merupakan tanggung jawab penggarap. Maka apabila
kita menemui penonton yang kurang cerdas hari ini, ini juga salah penggarap
pertunjukan yang hanya menyajikan persoalan sepele dan tidak mendidik. Lebih jauh
menurut Stella Adler—seorang aktris dan guru acting Amerika—bahkan teater harusnya
disajikan untuk mengungkap kebenaran dalam sebuah kehidupan dan situasi sosial
di sekitar. Maka menjadi badut panggung adalah penghianatan pada upaya itu.
Belum lagi, persoalan kegaguan terus saja terjadi. Usaha penyampaian
ide seringkali terhambat oleh kemampuan penyaji. “Ah, itu kan penontonnya
saja yang goblok, begini saja tidak paham,” begitu kata sebagian pelakunya.
Mereka memang akan dengan mudah menyalahkan daya tangkap penonton. Benarkah begitu?
Sejatinya pertunjukan teater digelar untuk penonton. Maka menjadi
keharusan bahwa seorang penyaji melakukan riset terlebih dahulu pada
penontonnya. Penyaji akan mengetahui daya tangkap, trend yang dipahami penonton
serta kecenderungan-kecenderungan lain yang berkaitan dengan keberhasilan
transfer ide tersebut. Kalau itu tidak dilakukan—penyaji terlampau egois dengan
menyamakan kepalanya dengan semua kepala yang ada di dunia ini—maka sangat
wajar bila pertunjukan penjadi gagu. Kegaguan ini tentunya sangat merugikan. Ide-ide
besar menjadi tidak tersampaikan, pertunjukan menjadi sangat membosankan dan
mendorong para penonton beralih pada obrolan dan smarphonenya. Bukankah ini
semakin sering terjadi?
Maukah para seniman teater berhenti menjadi badut yang gagu? Atau
nikmat dengan itu dan terus saja menyalahkan kelemahannya itu pada penonton?
Ekwan Wiratno
Malang, 25 Agustus 2019
Comments
Post a Comment