Skip to main content

KEBANYAKAN DARI KITA TERLALU SEMBRONO MEMPERLAKUKAN NASKAH: TEATER KERTAS DAN TEATER COWBOY


  
Tentu menyenangkan menonton pertunjukan teater.
Lebih menyenangkan bila naskahnya berkualitas.
Tetapi sangat menyakitkan bila naskah yang berkualitas dengan seenaknya diperlakukan.

Melihat antusiasme teater kampus untuk mementaskan naskah-naskah standar dan berani melakukan editing tentu saja merupakan kesenangan tersendiri. Hanya saja sebagai sebuah karya, tentu saja selalu perlu dilakukan perbandingan-perbandingan. Ibarat dalam dunia musik, apabila cover lagu tidak mampu memberikan sesuatu yang lebih baik—setidaknya sesuatu yang berbeda—maka sebuah karya cover lagu itu menjadi dinilai tidak baik. Sialnya di dunia teater seringkali kita melakukan “cover” itu dan mengalami banyak sekali kegagalan.
Dengan melimpahnya sinyal internet; baik berupa paket data maupun wifi gratis; selayaknya kita mampu menghindari itu. Berbagai pementasan kini dipublikasikan di dalam berbagai platform, proses kreatifnya pun seringkali dipublikasikan secara umum. Kemudahan harusnya memberikan kemudahan dalam melihat penggarapan-penggarapan sebelumnya. Sehingga, penggarap naskah harusnya mampu belajar dari apa yang telah ada dan meningkatkan kualitas penggarapannya—atau setidaknya membedakan dengan pementasan-pementasan sebelumnya.
Memang—diakui atau tidak—kita kekurangan naskah yang berkualitas dan relatif mudah diakses. Naskah-naskah yang ditulis pada awal abad 20 terus dipentaskan, sementara sedikit sekali naskah baru berkualitas yang dilirik para penggarap. Penggunaan naskah-naskah lama ini tentu saja membutuhkan upaya ekstra untuk membuatnya tetap fresh dan aktual. Beberapa caranya adalah dengan melakukan proses penggarapan dengan sudut pandang baru hingga proses editing dan adaptasi. Tetapi miris ketika usaha itu tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup.

SETAN
Pertunjukan yang disajikan dari naskah Setan dalam Bahaya karya Taufik El-Hakim itu diberikan judul baru yaitu Setan. Pentas ini merupakan pentas Teater Kertas, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Apabila kita melihat dengan lebih seksama naskah asli dan hasil adaptasi dari sang Sutradara, maka sejatinya kita melihat perbedaan yang mencolok. Sayangnya bukanlah “colokan” yang lebih baik.



Setan memiliki tambahan beberapa tokoh yang justru—menurut saya—menjadi kontraproduktif. Jelas sekali ada keinginan untuk merubah naskah itu menjadi naskah yang dapat dimainkan oleh banyak orang, tetapi usaha semacam itu harusnya didukung oleh kekuatan argumen dan keterkaitan cerita yang kuat. Penambahan tokoh ibu dan anak rasanya terlalu dipaksakan mengingat mereka seringkali melakukan interupsi adegan, sehingga malah merusak kesatuan cerita. Usaha semacam itu kalau saja ditata dengan lebih berhati-hati—dan tidak terlalu sering—maka akan memberikan efek menarik. Belum lagi pemecahan tokoh setan menjadi tiga orang yang rasanya terlalu mengada-ngada. Bahkan saya curiga hal ini hanya dilakukan untuk meningkatkan nuansa humor pertunjukan. Tujuan semacam ini tentu saja tidak membantu.
Adaptasi terhadap naskah seserius ini memerlukan perhitungan yang matang. Penambahan tokoh ibu dan anak, misalnya, justru membuat dialog menjadi bertele-tele dan cenderung membosankan. Saya jadi ingat kisah-kisah dongeng yang diceritakan oleh tokoh lain. Di stasiun televisi ada beberapa acara yang yang serupa, sebut saja salah satunya yaitu Pada Zaman Dahulu. Kita sering menemukan interupsi oleh para tokoh manusia ketika kisah hewan-hewan berlangsung, tapi kita tetap dapat menikmatinya karena mereka tidak terlalu “cerewet” seperti yang disajikan oleh Cutselviani. Hanya saja yang perlu diperhatikan dalam konteks naskah Setan dalam Bahaya  adalah keseriusan dialognya. Keseriusan dan pesan-kritik yang ingin disampaikan oleh penulis bisa menjadi ambyar kalau terlalu sering diinterupsi. Dan nyatanya itulah yang terjadi pada malam minggu itu (14 September 2019).
Belum lagi, gangguan itu diperparah dengan penggunaan rias yang tidak jelas kesatuan konsepnya, serta musik yang seperti sinetron akhir-akhir ini. Rias para tokoh menyerupai topeng-topeng tetapi tidak jelas asal, kaitan dan keberkaitannya dengan pertunjukan. Maka rias itu menjadi semacam hanya “tempelan.” “Tempelan” macam ini juga sangat jelas terlihat dari konsep musik yang dipakai. Musik pada pementasan Setan tidak punya kesatuan. Musik dihadirkan seringkali seperti tiba-tiba jatuh dari langit tanpa kaitan dengan adegan sebelum atau setelahnya. Ini tentu memperparah penyampaian cerita.
Tetapi, kita perlu berbangga karena ada yang berani melakukan editing pada naskah. Sebagian besar—kalau kita tidak mau menyebut sebagai hampir semua—penggarap malas melakukan itu dan menelan naskah mentah-mentah meskipun ide dan gagasannya seringkali telah usang. Kemalasan macam inilah yang menyumbang kekurang-adaptivan teater. Teater menjadi klasik, kuno, dongeng masa lalu yang sulit ditangkap oleh generasi sekarang yang memiliki persoalan yang berbeda dengan ketika naskah ini ditulis. Maka memang perlu seorang penulis, yang memperlakukan naskah dengan berani dan dengan pengetahuan yang mumpuni. Dan kita berbangga, Teater Kertas punya orang itu.

LIMBO & AYESHA
Pertunjukan Teater Cowboy (Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya) pada tanggal 21 September 2019 cukup menghibur. Naskah Graffito yang begitu rumit disajikan secara sederhana. Hanya saja perubahan judul naskah itu menjadi Limbo dan Ayesha terlalu berlebihan.
Kalau kita menilik kembali naskah aslinya, maka tidak ada perbedaan dengan pertunjukan yang dipentaskan. Upaya editornya hanyalah memotong beberapa adegan dan dialog tetapi cerita dan alurnya tetaplah sama. Maka perubahan judul sama sekali tidak bisa dimaafkan.
Belum lagi, mengganti judul—terutama dalam naskah-naskah semacam itu—justru menghilangkan simbolisme di dalamnya. Pertanyaan mengenai apa arti dari kata graffito menjadi menguap begitu saja. Judulnya menjadi begitu gamblang dan dangkal.”
Perubahan judul tentu saja bukan sekali ini saja terjadi dalam sejarah teater Indonesia. Misalnya perubahan judul naskah As You Like It karya William Shakespeare menjadi judul Piramus dan Tisbi yang diterjemahkan oleh Suyatna Anirun. Naskah ini memusatkan adegan dan dialog tokohnya kepada persoalan Piramus dan Tisbi. Bagian kecil cerita ini tentu saja memiliki garis merah yang sama dengan naskah aslinya, tetapi menjadi lebih terfokus dan memiliki bentuk barunya yang lebih simbolis dan surreal. Ini adalah salah satu usaha yang berhasil dalam melakukan framing naskah teater.

Tentu saja kekurangan framing itu tidak mengurangi apresiasi terhadap pertunjukan. Pertunjukan Teater Cowboy malam itu—meskipun dilakukan oleh para anggota baru—memberikan sajian yang lumayan meskipun tidak ada kebaruan dalam penggarapan. Pola-pola penggarapan naskah Graffito selama ini terjebak dalam keseriusan yang berlebihan, sedangkan Teater Cowboy memberikan sedikit hiburan dengan tarian dan musik yang dominan.
Tapi sebagai sebuah pertunjukan, tentu saja persoalan kesatuan musik, tata lampu dan blocking menjadi persoalan yang tidak boleh dilewatkan. Panggung Lorong (traverse) seperti itu memerlukan teknik blocking dan grouping yang special. Apa yang dilakukan oleh Teater Cowboy saya rasa belum optimal, ini umumnya terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai teknik-teknik pemanggungan dengan berbagai macam jenis panggung.

Kebanyak dari kita memang terlalu sembrono memperlakukan naskah. Naskah seringkali dianggap terlalu suci sehingga sama sekali tidak berani diotak-atik. Tapi naskah juga kadang dianggap terlalu remeh sehingga diobrak-abrik. Dan pertunjukan sejatinya adalah sebuah karya baru, yang idealnya selalu lebih baik dari sebelumnya, dari pementasan naskah itu sebelumnya. Bila tidak lebih baik, maka sia-sia saja. Lebih baik kita ngopi, ngbrol ngalor-ngidul dan bermain game. Berhenti mengaku seniman teater.

Malang, 25 September 2019
Ekwan Wiratno

Comments

Popular posts from this blog

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin l...

TEATER BABAK-BELUR CORONA

Virus Corona telah menjangkiti berpuluh negara di seluruh penjuru dunia. Virus Corona tipe baru yang bermula dari negara Tiongkok ini diberi nama Covid-19. Nama ini kemudian secara cepat menjadi symbol ketakutan seluruh manusia di dunia ini. Pertanggal 21 Maret 2019 Covid-19 telah menjangkiti 288 ribu orang dan sebanyak 11 ribu diantaranya meninggal dunia. Untuk menghindari meluasnya wabah Covid-19, maka banyak negara melakukan aksi perlindungan, salah satunya dengan melarang kegiatan yang melibatkan banyak orang. Bahkan, beberapa negara telah menutup akses keluar masuk negaranya yang kemudian popular disebut sebagai lock dawn. Perekaman pertunjukan Sleuth di McCarter Theater Center, Princeton Langkah yang diambil negara ini tentu saja berakibat bukan hanya pada aktivitas pekerjaan, hiburan dan ekonomi, juga pada aktivitas kesenian. Aktivitas seni yang melibatkan banyak orang dicabut ijin penyelenggaraannya. Karena itu maka para seniman banyak yang menunda atau membat...

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 d...

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke seko...

ABITUS: Mampukah menjadi sampar?

Apakah sekarang saatnya aku minum obat penenang?   Waktu pagi, obat-obat itu membelenggumu, sedang pada malam hari obat-obat itu membuatmu tenang. Atau sebaliknya. Dialog tokoh HAM itu sepertinya yang menggerakkan pertunjukan Teater Sampar Indonesia pada minggu malam (15/9). Pentas dengan judul Abitus itu merupakan karya yang ditunggu-tunggu sebab telah lama sekali Teater Sampar Indonesia tidak menyentuh panggung. Memang, para pegiatnya terus saja berkarya secara individu, tetapi tidak secara kolektif. Maka pentas ini sekaligus menjadi pembuktian bahwa Teater Sampar Indonesia masih hidup, meski harus melawan usia tuanya. Sebagai sebuah representasi, Abitus memang tidak sedang ingin menyimpulkan atau merangkum kompleksitas naskah Endgame karya Samuel Beckett. Sebuah representasi tetaplah hanya sebuah bagian kecil. Pengambilan topik “obat” dan “pengobatan” dirasa cukup menarik karena isu ini dikaitkan bukan hanya pada naskah asli, tapi juga diperluas dengan isu-isu te...