Skip to main content

KRITISISME, KRITIK DAN TEATER



Kritik seringkali membakar mereka yang menganggap dirinya sempurna.

KRITISISME MEMANDANG SENI
“Merekalah para penggerutu,” setidaknya itulah yang sering dilabelkan kepada orang yang berusaha terus kritis memandang sesuatu. Padahal berfikir kritis dan menggerutu adalah persoalan yang sangat berbeda. Berfikir kritis adalah sebuah usaha melihat sesuatu secara objektif, sementara gerutu seringkali didasari oleh subjektivitas belaka.
Kritisisme dapat dipandang sebagai sebuah usaha menakar kelebihan atau kekurangan dari sesuatu. Tentu dalam hal ini diperlukan kemampuan dalam analisis fakta-fakta dan kecenderungan yang terjadi. Ibarat seorang guru, kritisisme membantunya memberikan nilai sebuah ujian praktek bernyanyi. Dalam posisi ini, seorang guru dilarang menggunakan sentimen apapun yang mungkin muncul.
Bahkan T.S. Eliot, sang begawan sastra dan teater asal Inggris yang meraih hadiah Nobel Sartra pada tahun 1948, mengungkapkan bahwa 

kritisisme bukan hanya digunakan untuk menilai sebuah karya seni, tapi juga untuk mengoreksi selera penikmat seni[i].

Kita memahami bersama bahwa televisi telah mengoreksi selera kita terhadap sebuah hiburan. Hasil koreksi televisi ini memberikan “kaca mata” bagi penontonnya ketika memandang apapun. Maka kritisisme ini berguna meningkatkan selera mereka lewat cara memandang sebuah karya seni. Ibarat sebuah pembelajaran di sekolah, kritisisme seperti buku teks yang mendorong perbaikan kemampuan berfikir, sehingga mampu menilai dan mengambil sikap ketika menemukan kasus yang sama di luar sekolah.
Pada dasarnya, menilai adalah tahap lanjut dari kritisisme, hal yang paling penting adalah kritisme mengajarkan kita bahwa yang penting adalah penyampaian fakta. Maka sekali lagi subjektivitas harus digerus sampai pada titik terendah. Subjektivitas—tentu saja kemudian disebut sentimen—adalah hama bagi kritisisme. Penyampaian fakta oleh kritisisme dimaksudkan memudahkan penonton untuk secara mandiri menilai sebuah karya seni.

KRITIK DAN KRITIKUS TEATER
Kritisisme harusnya dapat digunakan sebagai pisau oleh semua pihak dalam lingkungan teater. Seorang penyaji teater menggunakan kritisisme sejak pertama kali memegang naskah. Kritisisme digunakan untuk memahami naskah, menggali penokohan, menggali intisari, bahkan hingga pada gladi bersih, dimana terus dipertanyakan segala fakta dan ketercapaian tujuan pertunjukan.

Segitiga pertunjukan teater

Seorang penonton tentu saja menggunakan kritisisme selama menonton. Kritisisme memudahkan penonton memahami pertunjukan secara keseluruhan, mulai dari cerita, penokohan, keselarasan aspek artistik, hingga untuk sekedar memuji atau mencaci.
Sementara pilar ketiga, seorang kritikus teater, jelas memerlukannya sejak sebelum menonton hingga membaca hasil kritiknya sendiri. Maka kritikus tidak boleh kehilangan kritisisme sepanjang proses dia berkarya. Kritisisme yang dimiliki oleh seorang kritikus harus tahan banting.
Seorang penyaji teater seringkali kehilangan kritisismenya ketika pertunjukan usai. Ada kecenderungan penyaji untuk menggunakan sudut pandang optimisme membabi buta. 

Sehingga, sedikit saja optimisme membabi buta itu disenggol, reaksinya seringkali berlebihan. 

Kritik yang dilemparkan seringkali dianggap tidak pantas, tidak menghargai sebuah proses, tidak mendukung kreativitas dan serangan-serangan lain yang seringkali ditujukan pada personal. Hal ini sering terjadi pada iklim kesenian dimana kritik seringkali dilokalisir dan tidak disampaikan secara umum pada publik. Ibarat mereka ini tersetrum listrik bertekanan rendah, tapi teriak-teriak selayaknya kabel sutet menyentuh pantatnya.
Kritisisme penonton yang menurun akan mengakibatkan mereka tidak mendapatkan hal penting dalam proses menonton pertunjukan teater. Mereka umumnya hanya mendapatkan kisah secara dangkal. Meski begitu, sikap kritis sejatinya adalah naluri manusia. Penonton secara sadar atau tidak pasti akan merasakan apabila ada kekurangan atau kesalahan. Bahkan, apabila pertunjukan begitu bagus, maka reflek tangan akan menghasilkan gerakan tepuk tangan.
Ketidak-adaan kritisisme dalam diri kritikus teater membuatnya tidak layak lagi disebut sebagai kritikus. Itulah yang terjadi di media-media, dimana yang tersisa hanyalah pengulas. Mereka bicara berbusa-busa hanya soal-soal sepele. Penulisan hal sepele ini akan menumpulkan kemampuan penonton untuk menilai. Ibarat anak SMP, tapi yang diajarkan lewat buku-buku teksnya hanya soal menghitung penjumlahan satu digit.
Sejatinya, tugas utama seorang kritikus teater adalah tetap menghidupkan kritisisme. Melalui kritik-kritiknya yang tajam, diharapkan akan memantik kritisisme penotonton dan penyaji.
Penyaji, dengan adanya kritikus, akan mempersiapkan pertunjukan dengan lebih matang. Dalam industri Broadway, bahkan, seorang kritikus dapat menghancurkan reputasi sebuah produksi. Dalam film Birdman tergambar dengan jelas posisi kritkus seperti itu. Dan pada kenyataannya, itu pula yang terjadi dalam dunia nyata. Seorang kritikus yang menyendiri, dengan sudut mata tajam dan tanpa ampun, adalah gambaran dalam dunia kesenian yang bersifat industri. Sementara di negara kita, kritikus seringkali adalah akademi atau pelaku teater itu sendiri.
Kritikus umumnya dilibatkan dalam proses review, yaitu sebelum pertunjukan disajikan kepada penonton. Dalam beberapa kasus adalah mengundang kritikus pada pertunjukan hari pertama. Hasil review ini disajikan dalam koran atau website untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang kualitas pertunjukan. Hal ini sekaligus mampu menarik calon penonton untuk datang ke gedung pertunjukan.
Keberadaan kritikus di negera kita yang sedikit sekali jumlahnya, ditambah dengan minimnya media yang mau menyediakan space untuk kritik, sejatinya menjepit seorang kritikus hingga hampir tiada. Belum lagi munculnya reaksi yang over dari sasaran kritik juga mengakibatkan tekanan tersendiri. Dan, seorang kritikus teater Jawa Timur bahkan menyampaikan bahwa “yang membuat saya tidak menulis kritik teater lagi adalah karena mereka yang saya kritik tidak mau berubah menjadi lebih baik.”

Padahal, sebuah iklim yang mendekati ideal adalah keberadaan penyaji yang sangat serius membuat pertunjukan teater, penonton teater yang kritis memandang pertunjukan, dan kehadiran kritikus teater. Di tengah upaya perbincangan pertunjukan (di beberapa daerah disebut saeasehan) hanya berisi basa-basi, maka keberadaan kritikus teater sangat dibutuhkan.
Tapi sejatinya ada satu kondisi yang membuat kritikus harusnya tidak ada, adalah kondisi dimana penyaji dan penonton sepenuhnya menggunakan kritisisme dan sepenuhnya sadar bahwa perbincangan mengenai sebuah pertunjukan perlu dan harus dilakukan secara lebih kritis dan enerjik.

Ekwan Wiratno
Malang, 3 Mei 2019




[i] T.S. Eliot. 1923. The Function of Criticism. dalam Selected Essai 1917-1932. Harcourt, Brace and Company. New York.

Comments

Popular posts from this blog

BARABAH: CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Cinta pada pandangan pertama. Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Malang dikepung gerimis sejak siang. Minggu malam (28 April 2019) sebuah sajian teater digelar oleh Teater Dii dari Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya. Malam itu Teater Dii memilih naskah Barabah karya Motinggo Busye. MOTINGGO BUSYE DAN TEATER Motinggo Busye atau Bustomi Djalil merupakan sastrawan yang lebih dikenal melalui novel-novelnya yang banyak mengekplorasi persoalan lokalitas, asmara dan seksualitas. Sementara dalam bidang teater, Motinggo sudah menunjukkan bakatnya pada usia remaja sebagai aktor dan sutradara. Hal itu dibuktikannya melalui kemampuannya mengisi sandiwara di radio yang disiarkan oleh RRI Bukittinggi berjudul Tom dan Desy . Setamat SMA, Motinggo Busye masuk ke Fakultas Hukum jurusan Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sayangnya, dia tidak menamatkan studinya itu karena terlalu asyik bersama para sastrawan dan mengikuti k

SEPTEMBER HITAM: Sekedar Dramatisasi Berita?

  September selalu menjadi bulan paling kelabu dalam pergaulan bangsa kita. Pada bulan ini secara rutin terjadi perdebatan tentang sejarah 65 dan polemik tentang film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Beberapa elit politik berseberang soal keharusan menonton film propaganda ini. Dan perdebatan setiap tahun ini sungguh melelahkan karena dilakukan oleh mereka yang malas belajar sejarah. Hantu-hantu menjadi komoditas politik untuk membangkitkan ketakutan dan ilusi “ratu adil.” Perdebatan konyol ini ironisnya justru mengakibatkan kita melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang terjadi di bulan yang sama. Beberapa diantaranya adalah tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, dan Reformasi Dikorupsi 2019 [i] . Sementara di luar negeri terjadi tragedi kemanusiaan berupa konflik yang berlangsung antara Angkatan Darat Yordania yang dipimpin oleh Raja Hussein melawan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diketuai oleh Yasser Arafat 1970 dan a

FESTAWIJAYA 6 : MEMBACA SAJA SULIT

Festival Teater Brawijaya (FESTAWIJAYA) 6 telah digelar pada tanggal 20-21 April 2019 di Gedung Kebudayaan Mahasiswa Universitas Brawijaya. Lomba teater yang melibatkan beberapa fakultas itu berlangsung secara sederhana.  PEMBACAAN SEKILAS Dalam memandang sebuah tulisan mengenai perlombaan, tentu harus kita pisahkan dengan proses atau pertimbangan penjurian. Juri tentu memiliki pendapat dan penilaian yang tercermin dari penentuan para juara. Seorang pengamat (sekaligus kritikus teater) menempatkan diri sebagai penonton biasa. Suara yang dituliskan oleh seorang pengamat/kritikus teater sejatinya sama sekali tidak berkaitan atau saling bergantung dengan pertimbangan penjurian. Hal ini perlu ditegaskan di awal agar tidak menimbulkan pemahaman yang sesat. Sebagai pengemat, tentu saja pembacaan terhadap pertunjukan yang disajikan dalam FESTAWIJAYA 6 sangat terbatas. Harapannya, meskipun terjebak dalam keterbatasannya, pengamat mampu memberikan perspektif berbeda yang mungkin luput

EKSISTENSI (ALISME) IWAN SIMATUPANG

Orang pada jaman ini sangat sedikit yang mengenal Iwan Simatupang. Dari pengenalan yang sangat sedikit itu, Iwan hanya dikenal sebagai seorang penulis novel. Novelnya  Ziarah  akhir-akhir ini kembali dicetak ulang setelah 50 tahun dari jarak penerbitannya yang pertama kali (1969). Dalam dunia teater, Iwan Simatupang dikenal dari naskahnya  Bulan Bujur Sangka, Petang Di Taman  dan  RT 0 RW 0 . Sejak tahun 1960-an memang naskah-naskah Iwan sudah berates kali dipentaskan, tetapi itu tidak lantas membuat ia dikenal dan popular di kalangan seniman teater. Nama Iwan sebagai penulis naskah tentu kalah popular dibandingkan dengan Chekhov, Arifin C. Noer atau bahkan Putu Wijaya. EKSISTENSI Sebagai seorang manusia, eksistensi Iwan Simatupang dimulai sejak 18 Januari 1928. Iwan sempat belajar di HBS ( Hogere Burgerschool, pendidikan menengah umum pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda, Eropa atau elite pribumi) dan dilanjutkan dengan masuk ke sekolah kedokteran (NIAS) di

PANDEMI (DI) TEATER KINI: Berhenti atau Adaptasi

 Virus Corona tipe dua telah menyajikan sebuah pertunjukan teaternya. Tirai merah perlahan dibuka, repertoar dihasilkan dari perpaduan segala alat musik orchestra. Adegan dimulai; berawal dari sebuah kota kecil yang diingkari kehadirannya, kemudian kini menyebar hampir di semua negara. Sebagai sebuah pertunjukan, Pandemi Covid-19 telah membangun drama tragedinya sejak awal tahun 2020. Di sana rumah sakit berjubel pasien, berbaris-baris ekonomi runtuh, hingga lubang-lubang memenuhi area pemakaman. Seketika klimak dibangun dan segala kesedihan terlahir begitu saja. Sialnya, kita tidak pernah tahu kapan pertunjukan teater ini akan selesai dan tirai merah Kembali ditutup. Sialnya kita dipaksa tetap duduk di depannya dan menyaksikan segala tragedinya. Bahkan, dalam kesialan amat besar, kita bisa saja ditarik masuk ke dalam kisahnya, menjadi salah satu aktor dan memainkan tragedi bersama mereka. Sebagaimana Augusto Boal mengajak penontonnya untuk masuk dan menentukan arah laju cerita pertu